Minggu, 15 November 2009

15 TANYA JAWAB MASALAH HAJI (3)

31. Bolehkah orang yang haji mendahulukan sai' daripada Thawaf Ifadzah?
Jawaban:
Jika hajinya itu adalah haji Ifrad atau Qiran, maka hukumnya boleh mendahulukan sai' dari Thawaf Ifadzah, lalu melaksanakannya setelah Thawaf Qudum, seperti yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya yang menyembelih hewan kurban sebagai dam.
Adapun bagi mereka yang berhaji Tamattu', maka dia harus mengerjakan dua sai', pertama ketika dia datang ke Makkah untuk umrah lalu mengerjakan thawaf, sai' dan mencukur, sedangkan kedua dalam haji. Lebih baik dilakukan setelah thawaf Ifadzah;karena sai' dilakukan setelah thawaf. Jika didahulukan sebelum thawaf tidak apa-apa menurut pendapat yang rajh, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ditanya,"Saya melakukan sai' sebelum thawaf." Beliau menjawab.,"tidak apa-apa."(Op.cit)

32. Bolehkah Mendahulukan Sa'i sebelum Thawaf Khusus pada Hari raya?
Jawaban: Yang benar bahwa tidak ada perbedaan antara hari raya dan selain hari raya bahwa mendahulukan sa'i sebelum thawaf hukumnya boleh hingga walaupun setelah hari raya, karena keumuman hadits seseorang yang bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Saya melakukan sa'i sebelum thawaf." Beliau menjawab, "Tdak apa-apa."(Op.cit) Jika hadits itu bersifat umum, berarti tidak ada perbedaan antara dilakukan pada hari raya atau sesudah hari raya.

33. Lupa Mengerjakan Sa'i
Jika seseorang melakukan thawaf, padahal seharusnya dia melakukan sa'i, kemudian keluar tanpa melakukan sa'i, lalu dia diberitahu setelah itu bahwa dia belum mengerjakan sa'i, apakah dia hanya menggaqdha sa'i saja ataukah harus mengulangi thawaf?
Jawaban:
Jika seseorang hanya melakukan thawaf dan belum melakukan sa'i, kemudian diberi tahu bahwa dia belum melakukan sa'i, maka dia hanya mengerjakan sa'i saja dan tidak perlu mengulang thawaf, karena tidak disyaratkan adanya keteraturan antara thawaf dan sa'i.
Hingga jika ada seseorang yang meninggalkannya secara sengaja atau sengaja mengakhirkan sa'i setelah thawaf, tidak apa-apa, tetapi yang lebih baik adalah sa'i dikerjakan setelah thawaf.

34. Bagaimana Pendapat Anda Tentang Orang yang Hanya Mencukur Sebagian Rambutnya Saja?
Jawaban:
Menurut pendapat saya, pencukurannya tidak sempurna. Yang semestinya dia lakukan adalah melepas pakaiannya, memakai pakaian ihram, memotong dengan potongan yang benar, kemudian setelah itu bertahalul. Pada kesempatan ini saya ingin mengingatkan bahwa setiap orang Mukmin yang ingin menyembah Allah dengan suatu ibadah, dia harus mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, sehingga dia bisa menyembah Allah dengan pengetahuan bukan dengan kebodohan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam,". Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata."(Yusuf: 108).
Seandainya seseorang ingin pergi ke Makkah menuju Madinah, dan tidak tahu arah menuju ke sana, maka dia tidak akan keluar hingga bertanya dulu jalannya. Jika seperti itu yang dilakukan untuk menempuh jarak yang bersifat fisik, mengapa seseorang tidak menempuh cara yang sama untuk menempuh jalan maknawi yang merupakan jalan agar bisa sampai kepada Allah?
Mencukur (memendekkan) adalah mengambil dari semua bagian rambut. Dalam pencukuran ini sebaiknya menggunakan mesin karena dengan mesin akan dapat memotong seluruh bagian kepala. Walaupun diperbolehkan untuk memotong dengan gunting, tetapi dengan syarat mencakup semua bagian kepala, begitu juga dalam mencukur atau memendekkan rambut. Wallahu a'lam.

35. Kapankah Waktu Pelemparan Jumrah Itu?
Jawaban:
Waktu pelemparan Jumrah Aqabah adalah pada hari raya; bagi orang yang masih kuat dan semangat, waktunya sejak terbitnya matahari pada hari raya, sedangkan bagi orang-orang yang lemah dan tidak bisa berdesak-desakkan, seperti anak-anak dan wnaita, boleh melempar Jumrah di akhir malam. Asma bintu Abu Bakar Radhiyallhu Anhuma menunggu tenggelamnya bulan pada malam hari raya, jika bulan tenggelam dia pergi ke Muzdalifah menuju Mina dan melempar Jumrah. Sedangkan akhir waktu melempar Jumrah adalah sampai matahari tenggelam pada hari raya, tetapi jika terjadi desak-desakkan atau jauh dari lokasi pelemparan dan ingin mengakhirkannya hingga malam, maka tidak apa-apa, tetapi angan mengakhirkan hingga terbit fajar pada tanggal kesebelas.
Sedangkan pelemparan Jumrah pada hari Tasyriq, yaitu pada tanggal sebelas, dua belas dan tiga belas, pelemparan dimulai sejak matahari condong atau pertengahan siang hingga ketika masuk waktu shalat Dzuhur hingga malam hari. Jika ada kesulitan karena berdesak-desakkan dan sebagainya, tidak apa-apa jika melempar di malam harinya sebelum terbit fajar. Tidak dihalalkan pada tanggal sebelas, dua belas dan tiga belas Dzulhijjah untuk melempar Jumrah sebelum matahari condong, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak melempar kecuali setelah matahari condong. Beliau bersabda kepada manusia, "Ambillah ibadah haji kalian dariku."(Op.cit) Rasulullah mengakhirkan pelemparan hingga waktu ini, padahal waktu itu sangat panas dan tidak melakukannya di awal siang padahal lebih dingin dan lebih mudah, menunjukkan bahwa tidak halal melempar Jumrah pada waktu itu.
Hal ini diperkuat dengan sebuah dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah melempar Jumrah ketika matahari condong sebelum shalat Dzuhur. Ini menunjukkan bahwa tidak halal hukumnya melempar Jumrah sebelum matahari condong ke barat. Jika tidak demikian, tentu melempar Jumrah sebelum matahari condong lebik baik supaya bisa shalat Dzuhur di awal waktu, karena shalat di awal waktu lebih baik. Hasilnya bahwa dalil-dalil itu menunjukkan bahwa melempar Jumrah di hari Tasyriq tidak boleh dilakukan sebelum matahari condong.

36. Sangsi Orang yang Sakit pada Hari Arafah, Belum Melempar Jumrah, Mabit, dan Thawaf
Seorang laki-laki menderita sakit pada hari Arafah, dia belum bermalam di Mina, belum melempar Jumrah dan belum melakukan Thawaf Ifadzah. Apa sangsinya?
Jawaban:
Jika penyakit yang menimpa orang yang sakit pada hari Arafah itu penyakit yang tidak memungkinkan baginya untuk menyempurnakan ibadah haji, dan pada permulaan ihramnya dia telah memberikan syarat, "Jika saya berhalangan menyempurnakan ibadah haji, maka posisisku hanya sampai pada ibadah yang aku berhalangan melaksanakannya", maka dia lepas dari tanggung jawab dan tidak wajib apa-apa atasnya. Tetapi jika hajinya itu adalah haji fardhu, maka dia harus mengulangnya pada tahun yang akan datang. Jika dia tidak menyaratkan, maka menurut pendapat yang rajih, jika tidak mungkin menyempurnakan hajinya, maka dia boleh bertahalul tetapi harus menyembelih hewan kurban, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat." (Al-Baqoroh:196)
Kata "terkepung" berarti terkepung oleh musuh maupun terkepung oleh yang lain. Makna terkepung adalah jika seseorang terhalangi oleh suatu penghalang untuk menyempurnakan ibadahnya.
Maka dari itu, dia harus menyembelih hewan kurban dan tidak ada lagi kewajiban atasnya selain itu, kecuali jika dia belum mengerjakan kewajiban haji, maka dia harus haji lagi pada tahun berikutnya.
Adapun jika orang sakit itu terus melanjutkan perjalanan dalam hajinya dan mengerjakan Wukuf di Muzdalifah tetapi belum mabit (bermalam) di Mina dan belum melempar Jumrah, maka dalam keadaan seperti ini hajinya tetap sah dan mendapatkan pahalanya, tetapi dia harus membayar dam (denda) untuk setiap kewajiban haji yang ditinggalkannya. Dia harus membayar dua denda (dam); yaitu denda untuk mabit di Mina dan denda untuk melempar Jumrah.
Sedangkan Thawaf Ifadzahnya harus tetap dilaksanakan jika disembuhkan oleh Allah, karena Thawaf Ifadzah batasnya, menurut pendapat yang rajih, hingga akhir bulan Dzulhijjah, dan jika karena udzur hingga udzurnya hilang.

37. Bagaimana Hukumnya Orang Yang Mabit (Bermalam) Di Luar Muzdalifah Karena Tidak Tahu Hukum? Apa Sangsi
Jawaban: Menurut ulama dia harus membayar dam dengan menyembelih seekor kambing dan membagikan dagingnya kepada orang-orang fakir di Makkah; karena dia meninggalkan salah satu kewajiban haji.
Pada kesempatan ini saya ingin mengingatkan saudara-saudara saya yang sedang melaksanakan ibadah haji agar mereka perhatian kepada hukum-hukum syariat di Arafah dan Muzdalifah, karena kebanyakan orang di Arafah bermalam di luar batas Arafah dan tinggal di sana hingga matahari tenggelam, kemudian pulang dan tidak masuk ke Arafah. Jika mereka kembali tanpa masuk Arafah, maka mereka kembali tanpa haji, maka dari itu mereka harus memperhatikan perbatasan Arafah dan mengenalnya, yaitu dengan melihat batu-batu tanda tiap-tiap mil yang berdiri di pinggir jalan.

38. Mengerjakan Sa’i Setelah Thawaf Ifadah
Seseorang yang Mengerjakan Haji Ifrad dan Melakukan Sa'i Setelah Thawaf Qudum, Apakah Dia Harus Mengerjakan Sa'i Lagi Setelah Thawaf Ifadzah?
Jawaban:
Setelah mengerjakan Thawaf Ifadzah, dia tidak perlu mengerjakan sa'i lagi, karena seseorang yang mengerjakan haji Ifrad, jika melakukan Thawaf Qudum dan mengerjakan sa'i setelahnya, maka sa'inya itu adalah sa'i haji, sehingga dia tidak perlu mengulanginya lagi setelah Thawaf Ifadzah.

39. Cukupkah Satu Thawaf Dan Satu Sa'i Untuk Orang Yang Mengerjakan Haji Qiran?
Jawaban:

Jika seseorang mengerjakan haji Qiran, maka cukup baginya mengerjakan satu Thawaf dan satu sa'i untuk haji dan Umrah, dan thawaf Qudum menjadi thawaf sunnah, jika dia mau, dia boleh mendahulukan sa'i setelah Thawaf Qudum, seperti yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Jika mau dia juga boleh mengakhirkannya hingga hari raya setelah thawaf Ifadzah, tetapi mendahulukannya lebih baik daripada mengakhirkannya karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan seperti itu, sehingga pada waktu hari raya, dia cukup mengerjakan Thawaf Ifadzah saja dan tidak mengerjakan sa'i karena dia telah melakukan sebelumnya.
Dalil yang menunjukkan bahwa satu thawaf dan satu sa'i sudah cukup untuk umrah dan haji adalah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Aisyah Radhiyallahu Anha, ketika dia sedang mengerjakan haji Qiran, "Thawafmu di Ka'bah antara Shafa dan Marwah, sudah cukup untuk haji dan Umrahmu." Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa thawaf dan sa'inya orang yang mengerjakan haji Qiran cukup untuk haji sekaligus umrahnya.

40. Bermalam di Mina, Lalu ke Makkah dan Tidak Kembali Lagi
Bagaimana Hukumnya Orang Yang Bermalam Di Mina Hingga Jam Dua Belas Malam Kemudian Masuk Makkah Dan Tidak Kembali Hingga Terbit Fajar?
Jawaban:
Jika jam dua belas malam adalah pertengahan malam di Mina, maka tidak apa-apa baginya keluar darinya setelah itu, walaupun sebaiknya dia tinggal di Mina waktu malam dan siang hari. Jika jam dua belas belum masuk pertengahan malam, maka dia tidak boleh keluar, karena mabit di mina-menurut para fuqaha-disyaratkan harus di sebagian besar waktu malam.

41. Tentang Muta’ajjil
Jika seorang haji keluar dari Mina sebelum matahari tenggelam pada tanggal dua belas dengan niat ta'ajjul (tergesa-gesa) karena dia mempunyai pekerjaan di Mina dan akan kembali ke Mina setelah matahari tenggelam, apakah dia dianggap muta'ajjil?
Jawaban:
Ya, dia dianggap muta'ajjil, karena dia menghentikan haji dan niat kembalinya ke Mina karena pekerjaan tidak menghalangi ta'ajjulnya; karena dia berniat kembali untuk bekerja bukan untuk beribadah.

42. Melempar Jumrah Terkait dengan Jadwal Penerbangan
Seorang haji dari luar Saudi Arabia mempunyai jadwal penerbangan pada jam empat sore pada tanggal tiga belas Dzulhijjah. Dia tidak keluar dari Mina setelah melempar Jumrah pada tanggal dua belas, dan dia sempat mabit di Mina pada tanggal tiga belas. Bolehkah dia melempar Jumrah di pagi hari sebelum matahari condong ke barat, kemudian pergi karena dia tahu bahwa jika dia mengakhirkan melempar Jumrah hingga matahari condong, akan ketinggalan pesawat dan akan tertimpa banyak kesulitan? Jika jawabannya tidak boleh, adakah pendapat yang membolehkan melempar Jumrah sebelum matahari condong?
Jawaban:
Dia tidak boleh melempar Jumrah sebelum matahari condong, tetapi mungkin dalam keadaan seperti ini, kewajibannya untuk melempar Jumrah pada hari itu gugur karena darurat, maka kami katakan kepadanya bahwa dia harus membayar fidyah dengan menyembelih seekor kambing dan membagikan dagingnya kepada fakir miskin, lalu mengerjakan Thawaf Wada' dan berjalan.
Kami katakan,"Mengenai pertanyaan Anda, jika jawabannya tidak boleh, adakah pendapat yang membolehkan melempar Jumrah sebelum matahari condong?"
Kami jawab,"Ada pendapat yang membolehkan melempar Jumrah sebelum matahari condong, tetapi pendapat itu tidak benar dan yang benar bahwa melempar Jumrah sebelum matahari condong pada hari setelah hari raya hukumnya tidak boleh, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Ambillah ibadah haji kalian dariku."(Op.cit)Sedangkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah melempar Jumrah pada hari-hari tersebut kecuali setelah matahari condong.
Jika ada orang bertanya, bukankah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melempar Jumrah setelah matahari condong karena kebetulan beliau melakukannya setelah matahari condong, dan sesuatu yang dilakukan secara kebetulan tidak berarti wajib?
Kami jawab:memang benar bisa jadi Rasulullah melakukannya secara kebetulan dan sesuatu yang dilakukan secara kebetulan tidak berarti wajib. Yang menunjukkan bahwa beliau melakukan itu secara kebetulan adalah karena setelah melempar Jumrah, beliau tidak menyuruh untuk melempar setelah matahari condong. Bukti lain yang menunjukkan bahwa tindakan itu bukan berarti wajib, karena suatu kewajiban tidak terjadi kecuali dengan perintah untuk mengerjakannya atau dilarang mengerjakannya.
Tetapi kami katakan bahwa tindakan itu menunjukkan adanya perintah yang berarti wajib. Alasannnya, Rasulullah menngakhirkan pelemparan hingga matahari condong sehingga ini menunjukkan pada hukum wajib. Karena seandainya melempar sebelum matahari condong hukumnya boleh, tentu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam akan melakukannya; karena pada waktu itu lebih mudah bagi kita dan lebih ringan, padahal Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah memilih antara dua hal kecuali beliau memilih yang paling mudah selama tidak berdosa, tetapi di sini beliau tidak memilih yang lebih mudah yaitu melempar Jumrah sebelum matahari condong, ini menujukkan bahwa melempar Jumrah sebelum matahari condong adalah dilarang.
Alasan kedua, yang menunjukkan bahwa tindakan Rasulullah itu mengandung arti wajib adalah bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melempar langsung setelah matahari condong sebelum shalat Dzuhur, seakan-akan beliau menunggu condongnya matahari dengan sabar agar bisa segera melempar, maka dari itu beliau mengakhirkan shalat Dzuhur padahal yang lebih baik adalah menyegerakan shalat di awal waktu, tetapi semua itu beliau lakukan supaya beliau bisa melempar setelah matahari condong.

43. Melempar Jumrah pada Tanggal 12 Dzulhijjah
Ada orang tidak melempar Jumrah pada tanggal kedua belas Dzulhijjah karena mengira bahwa ini adalah ta'ajjul, dan dia pulang sebelum mengerjakan Thawaf Wada', bagaimana hukum hajinya?
Jawaban:
Hajinya sah, karena dia tidak meninggalkan salah satu rukun haji. Tetapi jika dia tidak mabit di Mina pada malam tanggal dua belas Dzulhijjah, berarti dia telah meninggalkan tiga kewajiban haji, yaitu:
Kewajiban pertama, mabit di Mina pada malam tanggal dua belas.
Kewajiban kedua, melempar Jumrah pada tanggal kedua belas.
Kewajiban ketiga, Thawaf Wada'.
Pada setiap kewajiban yang ditinggalkannya itu, dia harus membayar dam dan menyembelihnya di Makkah, lalu dibagikan dagingnya pada orang-orang fakir miskin, karena menurut ulama', kewajiban haji yang ditinggalkan seseorang, harus diganti dengan dam dan berupa seekor kambing yang disembelih di Makkah dan dibagikan dagingnya kepada orang-orang fakir miskin.
Pada kesempatan kali ini saya ingin mengingatkan kepada saudara-saudara kami para pelaksana ibadah haji tentang kesalahan yang dilanggar oleh penanya, bahwa kebanyakan orang yang melaksanakan haji memahami seperti yang dia fahami dan mereka memahami bahwa makna firman Allah, "Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari," mereka memahami;"atau ingin keluar pada tanggal sebelas Dzulhijjah", mereka mengangap dua hari itu adalah hari raya dan tanggal sebelas Dzulhijjah. Masalahnya bukan seperti itu, tetapi itu adalah pemahaman yang salah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya."Makna "hari-hari yang berbilang "itu adalah hari Tasyriq dan hari Tasyriq dimulai tanggal sebelas, sehingga firman Allah, "Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari," atau dua hari dari hari Tasyriq, yaitu tanggal dua belas Dzulhijjah. Maka dari itu, orang-orang itu harus segera meluruskan pemahaman mereka seputar masalah ini sehingga tidak salah lagi.

44. Mabit di Luar Mina, karena Tidak Mendapatkan Tempa
Bagaimana hukumnya orang yang tidak mendapatkan tempat di Mina, lalu datang ke Mina pada malam hari dan tinggal di sana hingga setelah pertengahan malam kemudian pergi ke tanah Haram di sisa harinya?
Jawaban:
Tindakan seperti itu hukumnya boleh, tetapi sebaiknya dia melakukan yang sebaliknya, karena seharusnya yang dilakukan seorang haji adalah tinggal di Mina di waktu siang dan malam pada hari Tasyriq. Jika dia tidak mendapatkan tempat, maka dia harus tetap tinggal di situ dengan mencari tempat yang kosong di ujung perkemahan hingga walaupun sampai di luar Mina jika tidak mendapatkan tempat di Mina.
Sebagian ulama di zaman kita ini ada yang berpendapat bahwa jika seseorang tidak mendapat tempat di Mina, maka kewajibannya untuk mabit di Mina gugur dan dia boleh mabit di manapun, di Makkah atau di selain Makkah. Dalam hal ini mereke mengqiyaskannya dengan orang yang kehilangan salah satu anggota wudhu, maka gugurlah kewajiban untuk membasuhnya.
Tetapi pendapat ini perlu dikritisi, karena hukum bersuci berkaitan dengan anggota badan, sehingga jika anggota badan itu tidak ada, gugurlah kewajiban. Perlu diketahui, maksud dari mabit di Mina adalah agar seseorang berkumpul bersama-sama kaum Muslimin menjadi satu umat, maka yang harus dilakukan orang itu adalah membuat tenda sendiri di ujung tempat sehingga dia bisa bersama para jama'ah haji lainnya. Pendapat ini diperkuat bahwa jika masjid penuh dan orang-orang yang shalat di sekitar masjid banyak, maka shaf yang dibentuknya harus bersambung dengan yang di masjid sehingga menjadi satu jama'ah. Saya kira masalah mabit di Mina sama dengan masalah ini bukan seperti orang yang kehilangan anggota badan.

45. Thawaf Wada’ di Pagi Hari, tapi Baru Pergi di Sore Hari
Ada orang mengerjakan Thawaf Wada' di pagi hari, kemudian tidur dan baru pergi setelah Ashar, apakah sangsinya?
Jawaban:
Dia harus mengulang Thawaf Wada' untuk umrah dan haji, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Janganlah sekali-kali seseorang pergi sehinga mengakhirinya di Baitullah yaitu melakukan Thawaf Wada' terlebih dahulu."(Diriwayatkan Muslim){Ditakhrij oleh Muslim dalam kitab Al-Hajj, bab"Wujubu Thawaf al-Wada' wa Suquthuhu 'An Al-Haid",[963]}.
Beliau bersabda seperti ini pada waktu haji wada' dan sejak itulah Thawaf Wada' diwajibkan untuk pertama kalinya. Tidak ada hadits lain tentang umrah Rasulullah sebelum itu, yang menunjukkan bahwa beliau melakukan Thawaf Wada' sebelum pulang; karena Thawaf wada' diwajibkan pada waktu Haji Wada'. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tunaikan umrahmu sebagaimana kamu menunaikan kewajiban hajimu."(Muttafaq 'Alaihi){Ditakhrij oleh Al-Bukhori dalam kitab Al-Hajj, bab"Ghaslu Al-Khuluq Tsalatsa Marat",[1536];dan Muslim dalam kitab Al-Hajj, bab"Maa Yubaahu li Al-Mahram Bihajjin au Umratin",[1180]}.
Secara umum amalan haji dan umrah adalah sama, kecuali wukuf, mabit dan melempar Jumrah, karena menurut kesepakatan ulama' ketiga amalan itu adalah khusus dalam haji, sedangkan sisanya sama. Karena itulah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menamakan Umrah dengan haji kecil, seperti yang dijelaskan dalam hadits Amr bin Hazm yang panjang yang terkenal yang diterima oleh para ulama', walaupun sebenarnya hadits mursal, tetapi menjadi shahih karena para ulama menerimanya.


1 komentar:

  1. Bagaimana dengan orang yang Tȋ̝̊ϑak melempar jumrah satu kali,,apakan sah haji nya

    BalasHapus