Kamis, 27 Agustus 2009

ORANG YANG WAJIB MELAKSANAKAN SHIYAM

Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Para ulama’ sepakat bahwa shiyam, puasa wajib dilaksanakan oleh orang muslim, yang berakal sehat, baligh, sehat, dan muqim (tidak sedang bepergian) dan untuk perempuan harus dalam keadaan suci dari darah haidh dan nifas. (lihat Fihus Sunnah I:506). Adapun tidak diwajibkannya shiyam atas orang yang tidak berakal sehat dan belum baligh, didasarkan pada sabda Nabi saw., “Diangkat pena dari tiga golongan (pertama) dari orang yang gila hingga sembuh, (kedua) dari orang yang tidur hingga bangun dari tidurnya, dan (ketiga) dari anak kecil sampai ihtilam (bermimpi basah)." (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:3514 dan Tirmidzi II:102 no: 693).

Adapun tidak diwajibkannya puasa atas orang yang tidak sehat, tapi muqim, mengacu pada firman Allah SWT, “Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah. 184).
Namun jika ternyata orang yang sakit dan yang musafir itu tetap berpuasa, maka puasanya mencukupi keduanya. Karena dibolehkannya keduanya berbuka itu hanyalah sebagai rukhshah, keringanan bagi mereka. Maka jika mreka berdua tetap bersikeras untuk mengamalkan ketentuan semula ‘azimah, maka itu lebih baik.

Manakah Yang Lebih Afdhal Berpuasa Atau Berbuka
Jika dengan berpuasa orang yang sakit dan yang musafir tidak mendapatkan kesulitan yang berarti, maka berpuasa lebih afdhal. Sebaliknya jika mereka berdua ternyata menghadapi kesulitan dan kepayahan yang sangat, maka berbuka lebih afdhal.
Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. ia berkata, “Dahulu kami berperang bersama Rasulullah saw. di bulan Ramadhan, maka diantara kami ada yang tetap berpuasa dan ada pula yang berbuka. Orang yang (tetap) berpuasa tidak marah (mencela) kepada yang berbuka dan tidak (pula) yang berbuka kepada yang berpuasa. Mereka berpendirian bahwa barang siapa yang kuat, lalu berpuasa, maka yang demikian itu lebih baik. (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 574, Muslim II:787 no.96 dan 1116, dan Tirmidzi II: 108 no: 708).
Adapun tentang tidak diwajibkannya shiyam atas perempuan yang haidh dan yang nifas, didasarkan pada hadits dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. bahwa Nabi saw. bersabda bersabda, “Bukankah bila perempuan datang bulan ia tidak (boleh) shalat dan puasa ? Maka yang demikian sebagai pertanda kekurangan pada agamanya?” (Shahih: Mukhtashar Bukhari no:951 dan Fathul Bari IV: 191 no: 1951).
Apabila perempuan yang haidh atau nifas itu tetap melaksanakan ibadah shiyam, maka tidak cukup dan tidak berguna bagi mereka. Sebab, salah satu syarat wajibnya berpuasa bagi kaum perempuan adalah harus bersih dari haidh dan nifas, sehingga keduanya tetap wajib menqadha’nya.
Dari Aisyah r.a. ia berkata, “Kami biasa haidh pada zaman Rasulullah saw., lalu kami diperintah menqadha puasa, namun tidak diperintah menqadha’ shalat. (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 630, Muslim I:265 no:355, ‘Aunul Ma’bud I:444 no:259-260, Tirmidzi II: 141 no784 dan Nasa’i IV:191).

Hal-Hal Yang Wajib Dilakukan Kakek Dan Nenek Yang Tua Renta Serta Orang Yang Sakit Menahun Yang Tidak Diharapkan Kesembuhannya
Orang yang tidak mampu lagi berpuasa karena usianya sudah lanjut, atau karena yang semisalnya, maka harus berbuka puasa dengan syarat ia harus memberi makan setiap hari satu orang miskin. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) ; memberi makan seorang miskin." (Al-Baqarah:184).
Dari ‘Atha’ bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas r.a. membaca ayati ini, lalu ia berkomentar, “Sesungguhnya ayat ini tidak mansukh, yaitu kakek dan nenek yang sudah tua renta yang tidak mampu berpuasa hendaklah masing-masing memberi makan seorang miskin sebagai ganti tiap-tiap hari (yang mereka tidak puasa itu).” (Shahih:Irwa’ul Ghalil no:912 dan Fathul Bari VIII:179 no:4505).

Wanita Yang Hamil Dan Yang Menyusui
Wanita yang hamil dan yang sedang menyusui yang merasa berat melaksanakan ibadah shiyam, atau keduanya merasa khawatir mengganggu kesehatan bayinya., bila tetap berpuasa, maka keduanya boleh berbuka dengan mengemban kewajiban membayar fidyah dan tidak ada kewajiban mengqadha’ bagi mereka. Hal ini mengacu kepada riwayat berikut.
Dari Ibnu Abbas r.a. ia bertutur, “Kakek yang sudah tua renta dan nenek yang sudah lanjut usia, yang merasa amat berat melaksanakan ibadah shiyam diberi disepensasi untuk berbuka kalau keduanya mau, dan harus memberi makan seorang miskin setiap hari dan mereka tidak boleh mengqadha. Kemudian ketentuan itu dihapus oleh ayat ini, FAMAN SYAHIDA MINKUMUSY SYAHRA FALSYASHUMU (Karena itu, barang siapa di anara kamu hadir (di negeri/ tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu), dan tetaplah bagi kakek dan nenek yang lanjut usia, bila merasa berat menjalankan shiyam, dan wanit yangh amil dan yang menyusui yang merasa khawatir (mengganggu kesehatan bayinya), agar berbuka dan mereka harus memberi makan seorang miskin sebagai ganti tiap-tiap hari (yang mereka tidak puasa itu)”. (Sanadnya kuat diriwayatkan : Baihaqi IV: 230).
Dari Ibnu Abbas r.a. katanya, “Jika wanita yang hamil merasa khawatir terganggu kesehatan dirinya dan wanita yang menyusui khawatir terganggu kesehatan bayinya ketika, berpuasa Ramadhan, hendaklah mereka berbuka dan memberi makan orang miskin sebagai ganti tiap hari (yang mereka tidak puasa itu), dan mereka tidak usah mengqadha’nya.” (Shahih: yang oleh al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil IV:19 nisbatkan kepada ath-Thabari no: 2758 dan ia berkata, “Sanadnya shahih menurut persyaratan Imam Muslim).
Dari Nafi’I, ia bertutur, “Seorang puteri Ibnu Umar menjadi isteri seorang laki-laki Quraisy, dan ketika hamil merasa haus dahaga di (siang hari bulan) Ramadhan, lalu diperintah oleh Ibnu Umar agar berbuka dan (sebagai gantinya) agar memberi makan setiap hari satu orang miskin.” (Shahih sanadnya: Irwa-ul Ghalil IV:20 dan Daruquthni :207 no: 15).

Kadar Banyaknya Makanan Yang Wajib Diberikan
Mengenai hal ini dijelaskan dalam riwayat berikut.
Dari Anas bin Malik r.a. ia mengatakan bahwa ia pernah tidak mampu berpuasa pada suatu tahun (selama sebulan), lalu ia membuat satu bejan tsarid (roti yang diremuk dan direndam dalam kuah. Lihat Kamus al-Munawwir (Penterj.) kemudian mengundang sebanyak tigapuluh orang miskin, sehingga dia mengenyangkan mereka. (Shahih Sanadnya: Irwa-ul Ghalil IV: 21 dan Daruquthni II: 207 no:16).
umber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm.391 -- 396.


Selengkapnya...

RUKUN SHIYAM

Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

a. Niat, ini didasarkan pada firman Allah SWT, "Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (dalam menjalankan) agama dengan lurus."(Al-Bayyinah:5). Dan sabda Nabi saw., “Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang telah diniatkannya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari I:9 no:1, Muslim III:1515 no: 1907, ‘Aunul Ma’bud VI: 284 no:2186, Tirmidzi III: 100 no: 1698, Ibnu Majah II: 1413 no:4277 dan Nasa’i I:59).
Niat yang tulus ini harus ditancapkan dalam hati sebelum terbit fajar shubuh setiap malam. Hal ini ditegaskan dalam hadits dari Hafshah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang tidak menetapkan niat puasa sebelum fajar (shubuh), maka tiada puasa baginya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6538, ‘Aunul Ma’bud VII: 122 no: 2437, Tirmidzi :116 no: 726, dan Nasa’i IV: 196 dengan redaksi yang hampir sama).
b. Menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa, sejak terbitnya fajar sampai dengan terbenamnya matahari.
Allah Ta’ala berfirman, "Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.(Al-Baqarah: 187).

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
Yang membatalkan puasa ada enam perkara :
a
Makan dengan sengaja, dan
b.Minum dengan sengaja.
Oleh karena itu, jika makan atau minum karena lupa, maka yang bersangkutan tidak wajib mengqadha’nya dan tidak perlu membayar kafarah.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa lupa, padahal ia berpuasa, lalu makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya ia diberi makan dan minum oleh Allah." (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:6573, Muslim II,809 no:4455 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 155 no: 1923, Ibnu Majah I:535 no: 1673 dan Tirmidzi II: 441 no:717)
c. Muntah dengan sengaja
Maka dari itu, kalau seseorang terpaksa muntah, maka ia tidak wajib mengqadha’nya dan.tidak usah membayar kafarah.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa yang terpaksa yang terpaksa muntah, maka tidak ada kewajiban qadha’ atasnya; dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka haruslah mengqadha!” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6243, Tirmidzi II: 111 no: 716, ‘Aunul Ma’bud VII: no:2363 dan Ibnu Majah I : 536 no: 1676).
d
Haidh dan
e. Nifas,
Hal ini berdasar ijma’ ulama’
walaupun itu terjadi menjelang waktu menghrib.

f. Jima’, yang karenanya orang yang bersangkutan wajib membayar kafarah sebagaimana termaktub dalam berikut ini :

Dari Abu Hurairah r.a. berkata, tatkala kami sedang duduk-duduk di samping Nabi saw., tiba-tiba ada seorang sahabat bertutur, “Ya Rasulullah saya celaka,” Beliau bertanya, “Ada apa?" Jawabnya, “Saya berkumpul dengan isteriku, padahal saya sedang berpuasa (Ramadhan), “Maka sabda Rasulullah saw., “Apakah engkau mampu memerdekakan seorang budak?” Jawabnya, “Tidak” Beliau bertanya (lagi), “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Jawabnya, “Tidak” Beliau bertanya (lagi), “Apakah engkau mampu memberi makan enampuluh orang miskin? “Jawabnya, “Tidak”. Maka kemudian Nabi saw. diam termenung ketika kami sedang duduk termenung, tiba-tiba dibawakan kepada Nabi sekeranjang kurma kering. Lalu beliau bertanya, “Di mana orang yang tanya itu?” Jawabnya, “Saya (ya Rasulullah). “Sabda Beliau (lagi), “Bawalah sekeranjang kurma ini, lalu shadaqahkanlah (kepada orang yang berhak).” Maka (dengan terus terang) laki-laki itu berujar, “Akan kuberikan kepada orang yang lebih fakir daripada saya ya Rasulullah ? sungguh, di antara dua perkampungan itu tidak ada keluarga yang lebih fakir daripada keluargaku,” Maka kemudian Rasulullah saw. tertawa hingga tampa gigi taringnya. Kemudian beliau bersabda kepadanya, “(Kalau begitu), berilah makan dari sekeranjang kurma ini kepada keluargamu.” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari IV : 163 no: 1936, Muslim II: 781 no: 111, ‘Aunul Ma’bud VII : 20 no: 2373, Tirmidzi II : 113 no: 720 dan Ibnu Majah I : 534 no: 1671).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm.396 -- 396

Selengkapnya...

HUKUM, KEUTAMAAN, DAN KEWAJIBAN SHIYAM

Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Hukum Shiyam
Shiyam, puasa Ramadhan, adalah salah satu dari rukun Islam dan salah satu fardhu dari sekian banyak fardhunya. Allah berfirman yang artinya, "Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. al-Baqarah:183)
Sampai pada ayat :
"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu."(QS.al-Baqarah:185).

Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Islam ditegakkan di atas lima perkara; (pertama) bersaksi bahwa tiada Ilah (yang patut diibadahi) kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul utusan-Nya, (kedua) menegakkan shalat, (ketiga) mengeluarkan zakat, (keempat) menunaikan ibadah haji, dan (kelima) berpuasa di bulan Ramadhan." (Muttafaqun 'alaih: Fathul Bari I:106 no:46, Muslim I:40 no:11, 'Aunul Ma'bud II: 53 no:387, dan Nasa'I IV:21).

Keutamaan Puasa Ramadhan
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam sejarah pada hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala di sisi Allah, niscaya diampunilah baginya dosa-dosanya yang telah lalu." (Muttafaqun 'alaih : Fathul Bari I:115 no:1901, Nasa'i IV: 157, Ibnu Majah I: 526 no:1641, dan Muslim I: 523 no:760).
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Allah SWT berfirman, "Setiap amal anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Maka, sesungguhnya ia untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya. Shiyam (puasa) adalah sebagai tameng. Oleh karena itu, janganlah berteriak dan jangan (pula) bersikap dengan sikapnya orang-orang jahil. Jika ia dicela atau disakiti oleh orang lain, maka katakanlah, 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa', (dua kali). Demi Dzat yang diri Muhammad berada di genggaman-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah pada hari kiamat (kelak) jauh lebih harum dari pada semerbaknya minyak kasturi. Di samping itu, orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan yang dirasakannya; apabila ia berbuka maka ia merasa gembira dengan buka puasanya, dan apabila berjumpa dengan Rabbnya, maka ia berbahagia dengan puasanya.". (Muttafaqun 'alaih: Fathul Bari IV:118 no:1904, Muslim II : 807 no:163 dan 1151 dan Nasa'i IV:163).
Dari Shal bin Sa'ad bahwa Nabi saw. bersabda, "Sejatinya di dalam surga terdapat satu pintu yang disebut Rayyan, pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk (syurga) melalui pintu tersebut, tak seorangpun selain mereka yang boleh masuk darinya. Dikatakan kepada mereka, "Di mana orang-orang yang (rajin) berpuasa ? "Maka segera mereka berdiri (untuk masuk darinya), tak seorang pun selain mereka yang boleh masuk darinya. Manakala mereka sudah masuk (syurga darinya), maka dikuncilah pintu tersebut, sehingga tak seorangpun (selain mereka) yang masuk darinya." (Muttafaqun 'alaih : Fathul Bari IV:111 no: 1896, Muslim II:808 no:1152, Tirmidzi II :132 no:762 dan Ibnu Majah I:525 no:1640 serta Nasa'i IV:168 dengan redaksi yang mirip dan ada tambahan pada Imam yang tiga)

Kewajiban Berpuasa Ramadhan Dengan Melihat Hilal
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Berpuasalah kamu bila sudah melihat hilal (bulan Ramadhan) dan berbukalah kamu bila sudah melihat hilal (bulan Syawal); jika mendung atas kalian, maka genapkanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari!” (Muttafaqun ‘alaih : Muslim II:762 no:19 dan 1083 dan ini lafadnya, Fathul Bari IV:119 no: 1909 dan Nasa’i IV:133).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 385--388. Terakhir kali diperbaharui ( Thursday, 06 December 2007 )

Selengkapnya...

Selasa, 18 Agustus 2009

BAB HAIDH DAN NIFAS

Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Haidh adalah darah yang sudah dikenal di kalangan wanita dan tidak ada batas minimal atau maksimalnya dalam syarat. Ketentuannya dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing orang. Adapun nifas ialah darah yang keluar karena melahirkan, dan ada batas maksimalnya empat puluh hari.
Dari Ummu Salamah r.a., ia berkata, “Kaum wanita yang nifas tidak shalat pada masa Rasulullah selama empat puluh hari.” (Hasan Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 530, ‘Aunul Ma’bud I: 50,1 no: 307. Tirmidzi I: 92 no: 139. dan Ibnu Majah I: 213 no: 648).
Kapan saja perempuan melihat dirinya suci sebelum empat puluh hari, maka ia harus segera mandi besar dan bersuci. Namun, manakala darahnya keluar lebih dan empat puluh hari, maka ia harus mandi menyempurnakan empat puluh dan bersuci.
1. Hal-Hal yang Haram Bagi Wanita yang Haidh dan Nifas
Diharamkan atas perempuan yang haidh dan yang nifas apa saja yang diharamkan atas orang yang berhadas. (Periksa kembali Adab Buang Hajat pada poin ke-11 dan seterusnya) dan ditambah dengan beberapa hal berikut:
1. Puasa, yang harus diqadha ketika telah suci.
Dari Mu’adzah ia bertanya kepada Aisyah r.a., “Mengapa perempuan yang haidh, hanya mengqadha puasa, dan tidak (mau) mengqadha’ shalat?” Maka jawab Aisyah, “Yang demikian itu terjadi pada diri kami (ketika) bersama Rasulullah, yaitu agar kami mengganti puasa dan tidak diperintahkan mengqadha’ shalat.” (Muttafaqun ‘alaih: Muslim I: 265 no: 335 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari I: 421 no: 321, Tirmidzi 1: 87 no: 130, ‘Aunul Ma’bud: 444 no: 259 dan Ibnu Majah I: 207 no: 631).
2. Jima’ melalui vagina, sebagaimana yang ditegaskan firman Allah swt., "Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah Haidh itu adalah kotoran. Oleh sebab itu. Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu." (Al-Baqarah: 222).
Di samping itu ada sabda Nabi saw., “Lakukanlah segala sesuatu (terhadap istrimu), kecuali jima.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:527, Muslim I:246 no: 302, ‘Aunul Ma’bud I:439 no:255, Tirmidzi IV:282 no:4060, Ibnu Majah I:211 no:644 dan Nasa’i I:152”).
2. Hukum Orang yang Bercampur dengan Perempuan yang Haidh
Imam Nawawi dalam kitab Syarhu Muslim 111:204 mengatakan, “Andaikata seorang muslim meyakini akan halalnya jima’ dengan perempuan yang sedang haidh melalui kemaluannya, ia menjadi kafir, murtad. Kalau ia melakukannya tanpa berkeyakinan halal, yaitu jika ia melakukannya karena lupa, atau karena tidak mengetahui keluarnya daerah haidh atau tidak tahu, bahwa hal tersebut haram, atau karena dia dipaksa oleh pihak lain, maka itu tidak berdosa dan tidak pula wajib membayar kaffarah. Namun, jika ia mencampuri perempuan yang haidh dengan sengaja dan tahu, bahwa dia sedang haidh dan tahu bahwa hukumnya haram dengan penuh kesadaran, maka berarti dia telah melakukan maksiat besar sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Imam Syafii, bahwa perbuatannya adalah dosa besar, dan ia wajib bertaubat. Adapun mengenai kewajiban membayar kaffarah ada dua pendapat”. Selesai.
Menurut hemat penulis, bahwa pendapat yang rajih(kuat) ialah pendapat yang mewajibkan bayar kaffarah, karena ada hadits Ibnu Abbas Dari Nabi saw. tentang seorang suami yang mencampuri isterinya di waktu haidh, Rasulullah saw. bersabda, “Hendaklah ia bershadaqah satu dinar atau separuh." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 523, ‘Aunul Ma’bud 1: 445 no:261, Nasai’i I: 153, Ibnu Majah 1:2 10 no: 640).
Takhyir menentukan pilihan yang tertuang dalam hadits di atas dikembalikan kepada perbedaan antara jima’ di awal haidh atau akhir waktu haidh. Hal ini mengacu kepada riwayat dari Ibnu Abbas r.a. secara mauquf ia berkata, “Jika ia bercampur dengan isterinya di awal keluarnya darah maka hendaklah bershadaqah satu dinar, dan jika di akhir keluarnya darah, maka setengah dinar.” (Shahih mauquf: Shahih. Abu Daud no: 238 dan ‘Aunul Ma’bud I: 249 no: 262).
3. Istihadhah
Istihadhah ialah darah yang keluar di luar waktu-waktu haidh dan nifas atau keluar secara bersambung setelah haidh atau nifas. Jika ia keluar seperti yang pertama (di luar waktu) maka hal itu sudah jelas. Namun, jika seperti yang kedua, yaitu keluar secara bersambung sesudah sempurnanya waktu haidh atau nifas, maka sebagai berikut:
Jika seorang perempuan biasa mengeluarkan darah haidh atau nifas dengan teratur, maka darah yang keluar melebihi dan kebiasaannya adalah darah istihadhah. Berdasar sabda Nabi kepada Ummu Habibah, “Berhentilah kamu (selama haidh itu masih menahanmu), kemudian mandilah dan shalatlah!” (Shahih: Irwa’uI Ohalil no: 202 dan Muslim I: 264 no:65/334).
Manakala ia bisa membedakan antara dua darah, darah haidh adalah darah hitam yang sudah dimaklumi dan selain dan itu adalah darah istihadhah. Berdasar sabda Nabi saw. kepada Fathimah binti Abi Hubaisy r.a., “Apabila darah haidh, maka ia berwarna hitam yang sudah dikenal (oleh kaum wanita), maka hendaklah kamu berhenti dan shalat; namun jika berwarna lain, maka hendaklah kamu berwudhu’, karena ia adalah darah yang berasal dari pembuluh darah.” (Shahih: Irwa’ul Ghalil no: 204, Nasa’i I: 18 dan ‘Aunul Ma’bud I: 470 no: 283).
Jika ia mengeluarkan darah istihadhah, namun ia tidak bisa membedakan antara darah haidh dengan darah istihadhah, maka hendaklah ia mengacu kepada kebiasaan kaum perempuan di negerinya. Ini didasarkan pada sabda Nabi saw. kepada Hamnah binti Jahsy, "Sesungguhnya itu hanyalah salah satu dari dorongan syaitan. Maka, hendaklah kamu menjalani masa haidh enam hari atau tujuh hari menurut ilmu Allah, kemudian mandilah hingga apabila engkau melihat bahwa engkau sudah suci dan bersih maka shalatlah selama dua puluh empat malam atau dua puluh tiga hari dan berpuasalah, karena sesungguhnya itu cukup bagimu. Dan begitulah hendaknya kamu berbuat pada setiap bulan, sebagaimana kaum wanita berhaidh dan sebagaimana mereka, bersuci sesuai dengan ketentuan waktu haidh dan waktu sucinya.” (Hasan :Irwa-ul Ghalil no: 205, ‘Aunul Ma’bud I: 475 no: 284, Tirmidzi I: 83 no: 128. dan Ibnu Majah 1: 205 no: 627 semakna) Halaman 127
4. Hukum Mustahadhah
Tidaklah aku haramkan atas wanita mustahadhah (yang tengah mengeluarkan darah istihadhah), sesuatu yang diharamkan kepada perempuan yang mengeluarkan darah haidh, hanya saja ia harus berwudhu’ untuk setiap kali akan shalat. Hal ini mengacu kepada sabda Nabi yang ditujukan kepada Fathimah binti Abi Hubaisy r.a., “Kemudian berwudhu’lah untuk setiap kali (akan) shalat!” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:507, Aunul Ma’bud 1: 490 no: 195 dan Ibnu Majah I: 204 no: 42). Dan disunnahkan baginya mandi setiap kali akan shalat sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan mandi-mandi yang sunnah.
Sumber: Diadaptasi dari Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 106 - 112.

Selengkapnya...