Kamis, 12 November 2009

15 TANYA JAWAB MASALAH HAJI ( 2 )

16. Bolehkah Hukumnya Meminta Berkah dari Penutup Ka'bah?
Jawaban:
Meminta berkah dari penutup Ka'bah dan mengusapnya termasuk bid'ah, karena hal itu tidak diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Ketika Mu'awiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu Anhu mengelilingi Ka'bah dan mengusap semua bagian Ka'bah, dia ditentang oleh Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhuma, lalu Mu'awiyah menjawab, "Tidak ada sesuatupun dari Ka'bah yang tidak berguna." Ibnu Abbas menolak perkataan itu dengan berkata, "Rasulullah adalah teladan yang baik bagi kalian dan saya telah melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengusap dua Rukun Yamani," yaitu Hajar Aswad dan Rukun Yamani. Ini menjadi dalil bahwa kita tidak boleh mengusap Ka'bah dan bagian-bagiannya seperti yang dijelaskan dalam sunnah, karena ini termasuk berteladan yang baik kepada Rasulullah. Sedangkan Multazam yang berada di antara Hajar Aswad dan pintu, telah diriwayatkan daripara sahabat bahwa mereka berdiri di situ seraya berdoa. Wallahu a'lam.

17. Apakah Bekas Telapak Kaki yang Ada di Maqam Ibrahim Adalah Bekas Kedua Kaki Ibrahim atau Bukan?
Jawaban: Tidak diragukan lagi bahwa Maqam Ibrahim tetap (tidak berubah), sedangkan tempat yang diatasnya diberi kaca itu adalah Maqam Ibrahim, tetapi lubang yang ada di dalamnya tidak menunjukkan bahwa itu adalah bekas kedua telapak kaki, karena yang dikenal dari aspek histories bahwa bekas kedua kaki beliau telah hilang sejak zaman yang silam, tetapi lobang itu dibuat hanya sebagai tanda saja dan tidak mungkin kita memastikan bahwa lobang itu adalah tempat berpijaknya kedua kaki Ibrahim Alaihis-Salam.
Pada kesempatan ini saya ingin mengingatkan masalah ini bahwa sebagian orang yang haji dan umrah berdiri di Maqam Ibrahim dan berdoa dengan doa yang tidak diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, mungkin ada yang berdoa dengan suara keras sehingga menganggu orang-orang yang shalat dua rakaat Thawaf di belakang Maqam. Di Maqam itu tidak ada doa, tetapi disunnahkan untuk mengerjakan shalat dua rakaat di belakangnya, kemudian setelah salam langsung berdiri dan memberi kesempatan kepada orang lain yang ingin mengerjakan shalat sunnah thawaf dua rakaat.

18. Menemukan Najis Setelah Umrah
Ada orang yang setelah selesai mengerjakan umrah menemukan najis di pakaian ihramnya, bagaimana hukumnya?
Jawaban:
Jika seseorang mengerjakan thawaf dan sa'i untuk umrah, setelah itu dia menemukan najis di pakaian ihramnya, maka thawaf, sa'i dan umrahnya sah. Demikian itu karena jika seseorang tidak tahu bahwa di pakaiannya ada najis atau mengetahui tetapi lupa mencucinya, lalu shalat dengan memakai baju itu, maka shalatnya sah. Begitu juga jika seseorang mengerjakan thawaf dengan pakaian najis karena tidak tahu, maka thawafnya sah. Dalilnya adalah firman Allah, "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau salah." (Al-Baqarah:286).
Ini merupakan dalil umum yang dianggap sebagai salah satu kaidah syariat yang besar. Ada dalil khusus dalam masalah ini, yaitu pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersama shahabat-shahabatnya, dan di antara sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah shalat dengan mengenakan sepatu, lalu beliau melepas sepatu sehingga para shahabat pun melepas sepatu mereka. Ketika selesai shalat, beliau bertanya, "Mengapa kalian melepas sepatu?" Mereka menjawab, "Kami melihat engkau melepas kedua sepatumu, maka kami juga melepasnya." Beliau bersabda, "Sesungguhnya Jibril datang kepadaku lalu memberitahuku bahwa di kedua sepatu saya ada kotorannya."{Ditakhrij oleh Abu Dawud dalam kitab Ash-Shalah, bab "Ash-Shalah fi An-Ni'aal",[650]}.Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengulangi shalat, padahal pada awal shalatnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memakai sepatu yang najis. Ini menunjukkan bahwa orang yang shalat dengan memakai pakaian najis karena lupa atau tidak tahu maka shalatnya sah.
Di sini ada masalah, jika ada seseorang makan daging onta dan langsung shalat tanpa berwudhu dulu, karena dia mengira memakan daging kambing, apakah dia harus mengulangi shalatnya?
Menurut kami, dia harus mengulang shalatnya setelah dia berwudhu.
Jika seseorang bertanya, mengapa Anda berpendapat tentang orang yang shalat dengan memakai pakaian najis karena tidak tahu tidak perlu mengulangi shalat, sedangkan orang yang makan daging onta karena tidak tahu harus mengulangi shalat?
Kami jawab, karena kami mempunyai kaidah yang penting lagi bermanfaat, yaitu bahwa "perintah tidak gugur karena tidak tahu dan lupa, sedangkan larangan bisa gugur karena tidak tahu dan lupa." Dalil dari kaidah ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam , "Barangsiapa yang tertinggal shalatnya karena tidur atau lupa, maka hendaklah dia mengerjakannya ketika dia mengingatnya."(Op.cit)
Jika seseorang hanya mengerjakan dua rakaat untuk shalat Isya karena lupa dan baru mengingatnya setelah salam, maka dia harus menyempurnakannya ketika ingat. Ini menjadi bukti bahwa perintah tidak gugur karena lupa, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan kepada orang yang lupa shalat untuk segera mengerjakannya ketika ingat dan kewajibannya itu tidak gugur karena lupa.
Sedangkan dalil bahwa perintah tidak gugur karena tidak tahu adalah ada seorang laki-laki datang, lalu dia mengerjakan shalat tanpa tuma'ninah, kemudian datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam seraya mengucapkan salam. Lalu Nabi bersabda kepadanya,"Ulangilah karena sesungguhnya kamu belum sahalat." Beliau mengatakan demikian sebanyak tiga kali. Orang itu datang lagi, lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, "Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya kamu belum shalat."{Ditakhrij oleh Al-Bukhori dalam kitab Al-Adzan, bab "Wujub Al-Qira'ah", dan Muslim dalam kitab Ash-Shalah.}. Hingga akhirnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan kepadanya dan dia pun bisa mengerjakan shalat dengan benar. Orang itu meninggalkan kewajiban karena tidak tahu. Hal itu bisa diketahui dari perkataannya,"Demi Dzat yang mengutusmu dengan haq, tidak ada yang lebih baik dari ini, maka ajarilah aku." Seandainya kewajiban bisa gugur karena tidak tahu, tentu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memaafkannya. Kaidah ini sangat penting dan bermanfaat bagi para pencari ilmu.

19. Apa yang Harus Dilakukan oleh Orang yang Meninggalkan Thawaf Ifadzah karena Tidak Tahu?
Apa yang Harus Dilakukan oleh Orang yang Meninggalkan Thawaf Ifadzah karena Tidak Tahu?
Jawaban:
Thawaf Ifadzah termasuk salah satu rukun haji dan tidak sempurna haji seseorang kecuali dengannya. Jika seseorang meninggalkannya, maka hajinya tidak sempurna dan harus mengulanginya lagi walaupun sudah sampai di rumahnya, lalu kembali mengerjakan Thawaf Ifadzah. Dalam hal ini, selama belum mengerjakan Thawaf Ifadzah maka tidak halal baginya bercampur dengan isterinya, karena dia belum mengerjakan tahalul Tsani (kedua) dan Tahalul Tsani tidak boleh dilaksanakan kecuali setelah Thawaf Ifadzah. Sedangkan Sa'i baik dalam haji Tamattu', Qiran maupun Ifrad tidak perlu dikerjakan lagi bila seseorang sudah mengerjakannya bersama (setelah) Thawaf Qudum.

20. Apakah yang dimaksud dengan Idhthiba'? Kapan hal itu disyariatkan?
Jawaban:
Idhthiba' adalah membuka bahu kanan dan menyampirkan dua pucuk surban ke bahu kiri. Hal ini disyariatkan dalam Thawaf Qudum, sedangkan di selain Thawaf Qudum tidak disyariatkan.

21. Mana yang Lebih Baik Menggundul Atau Memendekkan Rambut?
Hukumnya menggundul atau memendekkan rambut dalam umrah?
Mana yang lebih baik antara keduanya?
Jawaban:
Menggundul atau memperpendek rambut dalam umrah hukumnya wajib, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika datang ke Makkah untuk mengerjakan haji Wada', thawaf dan sa'i, beliau memerintahkan kepada setiap orang yang belum menyembelih hewan kurban agar memotong rambut kemudian bertahalul. Jika beliau menyuruh mereka untuk memperpendek-sedangkan asal dari perintah adalah wajib-menunjukkan bahwa memperpendek rambut hukumnya wajib. Dalil ini diperkuat dengan dalil lain bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka ketika terkepung dalam Perang Hudaibiyah agar mereka menggundul rambut hingga Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam marah ketika mereka tidak bersemangat menjalankan perintah itu.
Sedangkan pertanyaan, mana yang lebih baik dalam umrah, memperpendek saja atau menggundul? Yang lebih baik adalah menggundul, kecuali bagi orang yang mengerjakan haji Tamattu' yang datang terakhir, maka lebih baik dia memperpendek sehingga dia bisa mengundulnya nanti ketika haji.

22. Menunda Puasa Hingga Tiga Tahun
Ada seorang yang melaksanakan haji Tamattu' tidak mendapatkan hewan kurban, lalu dia puasa tiga hari di waktu haji dan belum puasa tujuh hari sisanya. Keadaan semacam ini berlangsung hingga tiga tahun, apa yang harus dilakukannya?
Jawaban:
Dia harus segera berpuasa sisa tujuh hari dari sepuluh hari yang belum dilaksanakannya, dan kami memohon kepada Allah agar Dia mengampuninya.

23. Bagaimana Hukumnya Orang yang Menggundul Rambutnya untuk Umrah di Negerinya?
Jawaban: Para ulama berpendapat bahwa mencukur rambut tidak dikhususkan pada tempat tertentu, jika dia ingin mencukur di Makkah atau di selain Makkah tidak apa-apa. Tetapi mencukur rambut dalam umrah dilakukan sebelum tahalul dan juga setelah pencukuran atau penggundulan itu ada Thawaf Wada'. Urut-urutan dalam pelaksanaan umrah adalah ihram, thawaf,sai', menggundul atau memendekkan rambut, dan Thawaf Wada' jika dia masih bermukim setelah pelaksanaan umrah. Adapun jika dia berpergian langsung setelah melaksanakan umrah, maka tidak perlu melaksanakan Thawaf Wada'. Artinya dia harus menggundul atau mencukur rambutnya di Makkah jika dia ingin bermukim di sana, karena setelah itu dia akan mengerjakan Thawaf Wada', sedangkan jika dia setelah thawaf dan sai' langsung pulang ke negerinya, maka tidak apa-apa hukumnya jika dia mencukur atau menggundul rambutnya di negerinya, tetapi dia masih tetap dalam ihramnya hingga dia memotong atau menggundul rambutnya.

24. Niat Ihram Tapi Tidak Jadi
Seseorang yang hendak mengerjakan haji Tamattu' telah berniat ihram untuk umrah, kemudian timbul pikiran bahwa dia tidak akan melaksanakan haji, apakah dia dikenai suatu sangsi?

Jawaban:
Dia tidak dikenai sangsi apa-apa, karena seseorang yang berniat mengerjakan haji Tamattu', lalu berniat ihram untuk umrah dan telah menyempurnakannya, kemudian berubah pikiran bahwa dia tidak akan mengerjakan haji sebelum berniat ihram haji, maka tidak apa-apa baginya, kecuali jika dia bernazar. Jika dia bernazar akan naik haji pada tahun ini, maka dia wajib menunaikan nazarnya. Jika dia tidak bernazar maka tidak berdosa baginya jika dia meninggalkan haji setelah melaksanakan umrah. Wallahu al-Muwafiq.

25. Umrah tapi Belum Bertahallul
Bagaimana hukumnya orang yang berniat ihram untuk haji tamattu' dan mengerjakan umrah tetapi belum bertahalul dari ihramnya hingga menyembelih binatang kurban karena tidak tahu? Apa sangsinya? Apakah hajinya sah?

Jawaban:
Harus diketahui bahwa jika seseorang berniat ihram untuk haji Tamattu', maka jika dia telah mengerjkan thawaf dan sai', dia harus memendekkan semua rambut di kepala dan bertahalul dari ihramnya. Itulah yang harus dilakukan. Jika sejak awal dia telah berniat haji sebelum melakukan thawaf-atau thawaf umrah-, kemudian melanjutkan pelaksanaan haji setelah umrah tanpa bertahalul dari ihram umrahnya, maka tidak apa-apa baginya, karena dalam hal ini dia melaksanakan haji Qiran dan binatang kurban yang disembelihnya adalah untuk haji Qiran.
Tetapi jika dia tetap pada niat umrahnya hingga ketika mengerjakan thawaf dan sai', menurut sebagian besar ulama berpendapat bahwa ihram hajinya tidak sah;karena tidak sah hukumnya memasukkan haji kedalam umrah setelah melaksanakan thawaf.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hal semacam itu tidak apa-apa karena dia tidak tahu. Adapun menurut pendapat saya hal itu tidak apa-apa dan hajinya sah. Insya Allah.

26. Waktu Masuk Ke Muzdalifah
Suatu kaum tersesat sebelum sampai di Muzdalifah. Ketika di tengah jalan menuju ke Muzdalifah mereka berhenti untuk mengerjakan shalat Maghrib dan Isya' pada jam satu malam. Kemudian mereka masuk kota Muzdalifah ketika adzan Subuh dan mereka mengerjakan shalat Subuh di situ, apakah mereka dikenai sangsi?

Jawaban:
Mereka tidak terkena denda apa-apa, karena mereka sempat menemui shalat Subuh di Muzdalifah ketika mereka memasukinya waktu adzan Subuh dan shalat Subuh di dalamnya di akhir malam. Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, "Barangsiapa ikut menyaksikan shalat kami ini dan wukuf bersama kami hingga kita kembali, dan telah wukuf sebelum itu di Arafah di malam atau siang hari, maka hajinya telah sempurna dan menghilangkan dosa-dosanya."{Ditakhrih oleh Al-Bukhori dalam kitab Al-Adzan, bab"Wujubu Al-Qira'ah li Al-Imam wa Al-Ma'mum",[707];dan Muslim dalam kitab Ash-Shalah, bab"Wujubu Qira'ati Al-Fatihah fi Kulli Rak'atin",[397]}. Tetapi orang itu telah keliru karena mereka mengakhirkan shalat Isya hingga setelah pertengahan malam, karena waktu shalat Isya adalah hingga pertengahan malam, seperti yang dijelaskan dalam hadits shahih Muslim dari Hadits Abdullah bin Amru bin Al-Ash dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

27. Mewakilkan Melempar Jumrah Padahal Mampu Melakukannya
Seorang wanita beranjak dari Muzdalifah di akhir malam dan mewakilkan kepada anaknya untuk melepar Jumrah padahal dia mampu, bagaimana hukumnya?

Jawaban:
Melempar Jumrah termasuk manasik haji, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkannya dan melakukannya sendiri. Beliau bersabda, "Sesungguhnya thawaf itu dilaksanakan di Ka'bah antara bukit Shafa danMarwah sedangkan melempar Jumrah dilakukan untuk mengingat Allah."(Op.cit) Maka melempar Jumrah adalah ibadah yang dengannya manusia mendekatkan diri kepada Tuhannya. Melempar Jumrah disebut ibadah karena manusia ketika melemparkan kerikil-kerikil di tempat itu, dalam rangka untuk menyembah Allah dan mengingat-Nya. Tindakan itu dilakukan hanya untuk menyembah Allah, maka dari itu ketika seseorang melempar Jumrah, dia harus khusu' dan tunduk kepada Allah. Jika dia dihadapkan pada dua pilihan antara segera melempar Jumrah di awal waktu atau melemparnya di akhir waktu; jika dia mengakhirkannya akan dapat melempar dengan tumakninah, khusu' dan hatinya hadir, maka mengakhirkannya lebih baik, karena keutamaan dalam melempar Jumrah ini, berkaitan dengan ibadah itu sendiri, bukan berkaitan dengan waktu. Sesuatu yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri lebih didahulukan daripada sesuatu yang berkaitan dengan waktu atau tempat ibadah. Maka dari itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:"Tidak sah orang yang sedang menahan lapar atau menahan buang dua air(kotoran)".(Op.cit)
Dengan demikian, seseorang yang sedang menahan buang air atau menahan syahwat yang kuat untuk makan, sebaiknya mengakhirkan shalatnya dari awal waktunya. Begitu juga jika ada dua pilihan antara melempar Jumrah pada awal waktu tetapi harus berdesak-desakan dan harus berusaha keras untuk bisa bertahan hidup, dengan mengakhirkannya hingga di akhir waktu walaupun hingga di waktu malam tetapi bisa melakukannya dengan tenang dan hati yang hadir, maka mengakhirkannya lebih baik. Maka dari itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan keringanan kepada keluarganya yang lemah untuk mengakhirkan pulang dari Muzdalifha di akhir malam, sehingga mereka tidak berdesakdesakan yang biasanya terjadi jika orang-orang datang setelah matahari terbit.
Jika jelas seperti ini masalahnya, maka tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk mewakilkan kepada orang lain dalam melempar Jumrah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah." Tidak ada perbedaan di sini antara laki-laki dna perempuan. Jika telah jelas pula masalahnya dan bahwa melempar Jumrah termasuk ibadah dan tidak diperkenankan bagi laki-laki atau perempuan yang mampu untuk mewakilkan di dalamya, maka dia wajib melempar Jumrah sendiri, kecuali orang laki-laki atau perempuan yang sakit atau hamil yang mengkhawatirkan kehamilannya, maka mereka boleh mewakilkannya.
Adapun masalah yang terjadi pada wanita yang diceritakan penanya, bahwa wanita itu tidak melempar Jumrah sendiri padahal dia mampu, maka untuk berjaga-jaga, dia harus menyembelih hewan kurban di Makkah dan membagikan dagingnya kepada orang-orang fakir, karena telah meninggalkan kewajiban tersebut.

28. Melempar Jumrah tapi Tidak Jatuh di Lubang
Seorang haji melempar Jumrah Aqabah dari arah timur dan batunya tidak jatuh di lubang. Dia berada pada hari ketiga belas, apakah dia harus mengulangi untuk melempar Jumrah seluruhnya?

Jawaban:
Dia tidak wajib mengulangi seluruh lemparan, tetapi harus mengulang lemparan yang salah saja, yaitu hanya mengulangi melempar Jumrah Aqabah saja dengan lemparan yang benar, tetapi tidak disyaratkan harus melemparnya dari tempat dia arah timur yang di dalamnya terjadi kesalahan, asalkan kerikilnya bisa jatuh ke dalam lubang. Maka dari itu, dia boleh melempar dari je,mbatan dari arah timur supaya batunya bisa jatuh ke dalam lubang.

29. Melempar Jumrah
Jika satu atau dua lemparan dari tujuh lemparan ada yang tidak kena sasaran dan waktunya telah lewat sehari atau dua hari setelah itu, apakah pelemparan Jumrahnya harus diulangi lagi? Jika harus diulangi, apakah pelemparan sesudahnya juga harus diulangi?
Jawaban:
Jika dia masih kurang satu atau dua lemparan, atau lebih jelasnya kurang satu atau dua kerikil pada salah satu pelemparan Jumrah, maka menurut para fuqaha, jika yang kurang itu ada di akhir pelemparan, maka dia hanya memnyempurnakan kekurangannya saja dan tidak wajib mengulangi lagi dari pertama. Jika bukan pelemparan yang terakhir, maka dia harus menyempurnakan yang kurang dan melempar Jumrah yang sesudahnya.
Yang benar menurut saya, dia hanya menyempurnakan yang kurang saja dan tidak perlu mengulangi pelemparan yang sesudahnya. Demikian itu karena keharusan untuk melempar Jumrah secara "berurutan" menjadi gugur karena ketidak tahuan atau karena lupa. Sedangkan orang itu telah melakukan pelemparan yang kedua dan dia tidak yakin bahwa dia harus mengulang pelemparan yang sebelumnya, sehingga dia berada di antara tidak tahu dan lupa. Maka jika demikian kasusnya kami katakan kepadanya, "Lemparlah batu kerikil yang kurang saja, dan tidak wajib atas anda melempar yang sesudahnya."
Sebelum mengakhiri jawaban ini, saya ingin mengingatkan bahwa sasaran pelemparan (lubang) itu adalah tempat berkumpulnya batu kerikil dan lemparan seseorang tidak harus mengenai tiang yang ditegakkan di tempat itu, maka jika seseorang melemparkan batu kerikil ke dalam lubang dan tidak mengenai tiang, maka lemparanya sah. Wallahu a'lam.

30. Bolehkah Melempar Jumrah dengan Kerikil Sebelumnya
Ada yang mengatakan bahwa tidak boleh hukumnya melempar dengan batu kerikil yang telah dipakai untuk melempar sebelumnya, apakah ini benar? Apakah dalilnya?
Jawaban:
Itu tidak benar, karena orang yang melarang untuk melempar dengan batu yang sudah pernah dilemparkan itu beralasan pada tiga alasan:
1. Batu kerikil yang sudah pernah digunakan untuk melempar itu seperti air musta'mal, yang sudah pernah dipakai bersuci wajib, sedangkan air yang sudah pernah dipakai untuk bersuci wajib suci tetapi tidak menyucikan.
2. Batu kerikil itu seperti hamba sahaya yang dimerdekakan, maka dia tidak dimerdekakan lagi setelah itu dengan membayar kifarat atau selaninya.
3. Jika melempar Jumrah dengan batu yang sudah dipakai untuk melempar diperbolehkan berarti boleh hukumnya semua orang haji itu, hanya melempar dengan satu batu secara bergantian. Setelah dia melempar, lalu Anda mengambilnya hingga tujuh kali, kemudian ada orang lagi melakukan hal yang sama hingga tujuh kali.
Ketiga alasan jika kita renungkan semuanya sangat lemah:
Alasan pertama, kami menyangkal pendapat yang mengatakan bahwa air yang sudah dipakai untuk bersuci adalah suci tetapi tidak menyucikan, karena pendapat ini tidak berdalil dan tidak mungkin bagi kita untuk memindahkan air dari sifat aslinya, yaitu suci kecuali dengan dalil. Maka dari itu, air yang telah dipakai untuk bersuci wajib adalah suci dan mensucikan. Jika hukum asal yang dijadikan kiyas kepadanya tidak ada, maka tidak ada pula hukum cabangnya.
Sedangkan alasan yang kedua yaitu mengqiyaskan batu yang telah dipakai dengan budak yang dimerdekakan, ini adalah qiyas dengan sesuatu yang berbeda. Seorang budak yang dimerdekakan, berarti dia telah merdeka dan bukan budak lagi, sehingga tidak ada tempat baginya untuk pembebasan kedua. Lain halnya dengan batu, jika batu dilemparkan, maka dia tetap batu walaupun telah dileparkan, sehingga pelemparan itu tidak menghilangkan hakikat makna dari batu yang boleh digunakan untuk melempar. Maka dari itu, jika nanti budak yang telah dimerdekakan itu menjadi budak lagi karena sebab syariat, maka dia boleh dimerdekakan lagi.
Alasan ketiga, mengharuskan para haji untuk menggunakan satu batu kerikil saja;menurut saya jika memungkinkan silahkan dilakukan, tetapi hal itu tidak mungkin dan tidak akan dilakukan oleh seorang pun karena kerikil yang ada sangat banyak dan melimpah.
Berdasarkan sanggahan tersebut di atas maka jika ada satu atau beberapa kerikil Anda yang jatuh di sekitar Jumrah, maka ambillah sebagai gantinya dan lemparkan dengannya, baik Anda mengira itu sudah pernah digunakan untuk melempar atau belum.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar