Minggu, 15 November 2009

15 TANYA JAWAB MASALAH HAJI (3)

31. Bolehkah orang yang haji mendahulukan sai' daripada Thawaf Ifadzah?
Jawaban:
Jika hajinya itu adalah haji Ifrad atau Qiran, maka hukumnya boleh mendahulukan sai' dari Thawaf Ifadzah, lalu melaksanakannya setelah Thawaf Qudum, seperti yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya yang menyembelih hewan kurban sebagai dam.
Adapun bagi mereka yang berhaji Tamattu', maka dia harus mengerjakan dua sai', pertama ketika dia datang ke Makkah untuk umrah lalu mengerjakan thawaf, sai' dan mencukur, sedangkan kedua dalam haji. Lebih baik dilakukan setelah thawaf Ifadzah;karena sai' dilakukan setelah thawaf. Jika didahulukan sebelum thawaf tidak apa-apa menurut pendapat yang rajh, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ditanya,"Saya melakukan sai' sebelum thawaf." Beliau menjawab.,"tidak apa-apa."(Op.cit)

32. Bolehkah Mendahulukan Sa'i sebelum Thawaf Khusus pada Hari raya?
Jawaban: Yang benar bahwa tidak ada perbedaan antara hari raya dan selain hari raya bahwa mendahulukan sa'i sebelum thawaf hukumnya boleh hingga walaupun setelah hari raya, karena keumuman hadits seseorang yang bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Saya melakukan sa'i sebelum thawaf." Beliau menjawab, "Tdak apa-apa."(Op.cit) Jika hadits itu bersifat umum, berarti tidak ada perbedaan antara dilakukan pada hari raya atau sesudah hari raya.

33. Lupa Mengerjakan Sa'i
Jika seseorang melakukan thawaf, padahal seharusnya dia melakukan sa'i, kemudian keluar tanpa melakukan sa'i, lalu dia diberitahu setelah itu bahwa dia belum mengerjakan sa'i, apakah dia hanya menggaqdha sa'i saja ataukah harus mengulangi thawaf?
Jawaban:
Jika seseorang hanya melakukan thawaf dan belum melakukan sa'i, kemudian diberi tahu bahwa dia belum melakukan sa'i, maka dia hanya mengerjakan sa'i saja dan tidak perlu mengulang thawaf, karena tidak disyaratkan adanya keteraturan antara thawaf dan sa'i.
Hingga jika ada seseorang yang meninggalkannya secara sengaja atau sengaja mengakhirkan sa'i setelah thawaf, tidak apa-apa, tetapi yang lebih baik adalah sa'i dikerjakan setelah thawaf.

34. Bagaimana Pendapat Anda Tentang Orang yang Hanya Mencukur Sebagian Rambutnya Saja?
Jawaban:
Menurut pendapat saya, pencukurannya tidak sempurna. Yang semestinya dia lakukan adalah melepas pakaiannya, memakai pakaian ihram, memotong dengan potongan yang benar, kemudian setelah itu bertahalul. Pada kesempatan ini saya ingin mengingatkan bahwa setiap orang Mukmin yang ingin menyembah Allah dengan suatu ibadah, dia harus mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, sehingga dia bisa menyembah Allah dengan pengetahuan bukan dengan kebodohan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam,". Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata."(Yusuf: 108).
Seandainya seseorang ingin pergi ke Makkah menuju Madinah, dan tidak tahu arah menuju ke sana, maka dia tidak akan keluar hingga bertanya dulu jalannya. Jika seperti itu yang dilakukan untuk menempuh jarak yang bersifat fisik, mengapa seseorang tidak menempuh cara yang sama untuk menempuh jalan maknawi yang merupakan jalan agar bisa sampai kepada Allah?
Mencukur (memendekkan) adalah mengambil dari semua bagian rambut. Dalam pencukuran ini sebaiknya menggunakan mesin karena dengan mesin akan dapat memotong seluruh bagian kepala. Walaupun diperbolehkan untuk memotong dengan gunting, tetapi dengan syarat mencakup semua bagian kepala, begitu juga dalam mencukur atau memendekkan rambut. Wallahu a'lam.

35. Kapankah Waktu Pelemparan Jumrah Itu?
Jawaban:
Waktu pelemparan Jumrah Aqabah adalah pada hari raya; bagi orang yang masih kuat dan semangat, waktunya sejak terbitnya matahari pada hari raya, sedangkan bagi orang-orang yang lemah dan tidak bisa berdesak-desakkan, seperti anak-anak dan wnaita, boleh melempar Jumrah di akhir malam. Asma bintu Abu Bakar Radhiyallhu Anhuma menunggu tenggelamnya bulan pada malam hari raya, jika bulan tenggelam dia pergi ke Muzdalifah menuju Mina dan melempar Jumrah. Sedangkan akhir waktu melempar Jumrah adalah sampai matahari tenggelam pada hari raya, tetapi jika terjadi desak-desakkan atau jauh dari lokasi pelemparan dan ingin mengakhirkannya hingga malam, maka tidak apa-apa, tetapi angan mengakhirkan hingga terbit fajar pada tanggal kesebelas.
Sedangkan pelemparan Jumrah pada hari Tasyriq, yaitu pada tanggal sebelas, dua belas dan tiga belas, pelemparan dimulai sejak matahari condong atau pertengahan siang hingga ketika masuk waktu shalat Dzuhur hingga malam hari. Jika ada kesulitan karena berdesak-desakkan dan sebagainya, tidak apa-apa jika melempar di malam harinya sebelum terbit fajar. Tidak dihalalkan pada tanggal sebelas, dua belas dan tiga belas Dzulhijjah untuk melempar Jumrah sebelum matahari condong, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak melempar kecuali setelah matahari condong. Beliau bersabda kepada manusia, "Ambillah ibadah haji kalian dariku."(Op.cit) Rasulullah mengakhirkan pelemparan hingga waktu ini, padahal waktu itu sangat panas dan tidak melakukannya di awal siang padahal lebih dingin dan lebih mudah, menunjukkan bahwa tidak halal melempar Jumrah pada waktu itu.
Hal ini diperkuat dengan sebuah dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah melempar Jumrah ketika matahari condong sebelum shalat Dzuhur. Ini menunjukkan bahwa tidak halal hukumnya melempar Jumrah sebelum matahari condong ke barat. Jika tidak demikian, tentu melempar Jumrah sebelum matahari condong lebik baik supaya bisa shalat Dzuhur di awal waktu, karena shalat di awal waktu lebih baik. Hasilnya bahwa dalil-dalil itu menunjukkan bahwa melempar Jumrah di hari Tasyriq tidak boleh dilakukan sebelum matahari condong.

36. Sangsi Orang yang Sakit pada Hari Arafah, Belum Melempar Jumrah, Mabit, dan Thawaf
Seorang laki-laki menderita sakit pada hari Arafah, dia belum bermalam di Mina, belum melempar Jumrah dan belum melakukan Thawaf Ifadzah. Apa sangsinya?
Jawaban:
Jika penyakit yang menimpa orang yang sakit pada hari Arafah itu penyakit yang tidak memungkinkan baginya untuk menyempurnakan ibadah haji, dan pada permulaan ihramnya dia telah memberikan syarat, "Jika saya berhalangan menyempurnakan ibadah haji, maka posisisku hanya sampai pada ibadah yang aku berhalangan melaksanakannya", maka dia lepas dari tanggung jawab dan tidak wajib apa-apa atasnya. Tetapi jika hajinya itu adalah haji fardhu, maka dia harus mengulangnya pada tahun yang akan datang. Jika dia tidak menyaratkan, maka menurut pendapat yang rajih, jika tidak mungkin menyempurnakan hajinya, maka dia boleh bertahalul tetapi harus menyembelih hewan kurban, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat." (Al-Baqoroh:196)
Kata "terkepung" berarti terkepung oleh musuh maupun terkepung oleh yang lain. Makna terkepung adalah jika seseorang terhalangi oleh suatu penghalang untuk menyempurnakan ibadahnya.
Maka dari itu, dia harus menyembelih hewan kurban dan tidak ada lagi kewajiban atasnya selain itu, kecuali jika dia belum mengerjakan kewajiban haji, maka dia harus haji lagi pada tahun berikutnya.
Adapun jika orang sakit itu terus melanjutkan perjalanan dalam hajinya dan mengerjakan Wukuf di Muzdalifah tetapi belum mabit (bermalam) di Mina dan belum melempar Jumrah, maka dalam keadaan seperti ini hajinya tetap sah dan mendapatkan pahalanya, tetapi dia harus membayar dam (denda) untuk setiap kewajiban haji yang ditinggalkannya. Dia harus membayar dua denda (dam); yaitu denda untuk mabit di Mina dan denda untuk melempar Jumrah.
Sedangkan Thawaf Ifadzahnya harus tetap dilaksanakan jika disembuhkan oleh Allah, karena Thawaf Ifadzah batasnya, menurut pendapat yang rajih, hingga akhir bulan Dzulhijjah, dan jika karena udzur hingga udzurnya hilang.

37. Bagaimana Hukumnya Orang Yang Mabit (Bermalam) Di Luar Muzdalifah Karena Tidak Tahu Hukum? Apa Sangsi
Jawaban: Menurut ulama dia harus membayar dam dengan menyembelih seekor kambing dan membagikan dagingnya kepada orang-orang fakir di Makkah; karena dia meninggalkan salah satu kewajiban haji.
Pada kesempatan ini saya ingin mengingatkan saudara-saudara saya yang sedang melaksanakan ibadah haji agar mereka perhatian kepada hukum-hukum syariat di Arafah dan Muzdalifah, karena kebanyakan orang di Arafah bermalam di luar batas Arafah dan tinggal di sana hingga matahari tenggelam, kemudian pulang dan tidak masuk ke Arafah. Jika mereka kembali tanpa masuk Arafah, maka mereka kembali tanpa haji, maka dari itu mereka harus memperhatikan perbatasan Arafah dan mengenalnya, yaitu dengan melihat batu-batu tanda tiap-tiap mil yang berdiri di pinggir jalan.

38. Mengerjakan Sa’i Setelah Thawaf Ifadah
Seseorang yang Mengerjakan Haji Ifrad dan Melakukan Sa'i Setelah Thawaf Qudum, Apakah Dia Harus Mengerjakan Sa'i Lagi Setelah Thawaf Ifadzah?
Jawaban:
Setelah mengerjakan Thawaf Ifadzah, dia tidak perlu mengerjakan sa'i lagi, karena seseorang yang mengerjakan haji Ifrad, jika melakukan Thawaf Qudum dan mengerjakan sa'i setelahnya, maka sa'inya itu adalah sa'i haji, sehingga dia tidak perlu mengulanginya lagi setelah Thawaf Ifadzah.

39. Cukupkah Satu Thawaf Dan Satu Sa'i Untuk Orang Yang Mengerjakan Haji Qiran?
Jawaban:

Jika seseorang mengerjakan haji Qiran, maka cukup baginya mengerjakan satu Thawaf dan satu sa'i untuk haji dan Umrah, dan thawaf Qudum menjadi thawaf sunnah, jika dia mau, dia boleh mendahulukan sa'i setelah Thawaf Qudum, seperti yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Jika mau dia juga boleh mengakhirkannya hingga hari raya setelah thawaf Ifadzah, tetapi mendahulukannya lebih baik daripada mengakhirkannya karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan seperti itu, sehingga pada waktu hari raya, dia cukup mengerjakan Thawaf Ifadzah saja dan tidak mengerjakan sa'i karena dia telah melakukan sebelumnya.
Dalil yang menunjukkan bahwa satu thawaf dan satu sa'i sudah cukup untuk umrah dan haji adalah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Aisyah Radhiyallahu Anha, ketika dia sedang mengerjakan haji Qiran, "Thawafmu di Ka'bah antara Shafa dan Marwah, sudah cukup untuk haji dan Umrahmu." Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa thawaf dan sa'inya orang yang mengerjakan haji Qiran cukup untuk haji sekaligus umrahnya.

40. Bermalam di Mina, Lalu ke Makkah dan Tidak Kembali Lagi
Bagaimana Hukumnya Orang Yang Bermalam Di Mina Hingga Jam Dua Belas Malam Kemudian Masuk Makkah Dan Tidak Kembali Hingga Terbit Fajar?
Jawaban:
Jika jam dua belas malam adalah pertengahan malam di Mina, maka tidak apa-apa baginya keluar darinya setelah itu, walaupun sebaiknya dia tinggal di Mina waktu malam dan siang hari. Jika jam dua belas belum masuk pertengahan malam, maka dia tidak boleh keluar, karena mabit di mina-menurut para fuqaha-disyaratkan harus di sebagian besar waktu malam.

41. Tentang Muta’ajjil
Jika seorang haji keluar dari Mina sebelum matahari tenggelam pada tanggal dua belas dengan niat ta'ajjul (tergesa-gesa) karena dia mempunyai pekerjaan di Mina dan akan kembali ke Mina setelah matahari tenggelam, apakah dia dianggap muta'ajjil?
Jawaban:
Ya, dia dianggap muta'ajjil, karena dia menghentikan haji dan niat kembalinya ke Mina karena pekerjaan tidak menghalangi ta'ajjulnya; karena dia berniat kembali untuk bekerja bukan untuk beribadah.

42. Melempar Jumrah Terkait dengan Jadwal Penerbangan
Seorang haji dari luar Saudi Arabia mempunyai jadwal penerbangan pada jam empat sore pada tanggal tiga belas Dzulhijjah. Dia tidak keluar dari Mina setelah melempar Jumrah pada tanggal dua belas, dan dia sempat mabit di Mina pada tanggal tiga belas. Bolehkah dia melempar Jumrah di pagi hari sebelum matahari condong ke barat, kemudian pergi karena dia tahu bahwa jika dia mengakhirkan melempar Jumrah hingga matahari condong, akan ketinggalan pesawat dan akan tertimpa banyak kesulitan? Jika jawabannya tidak boleh, adakah pendapat yang membolehkan melempar Jumrah sebelum matahari condong?
Jawaban:
Dia tidak boleh melempar Jumrah sebelum matahari condong, tetapi mungkin dalam keadaan seperti ini, kewajibannya untuk melempar Jumrah pada hari itu gugur karena darurat, maka kami katakan kepadanya bahwa dia harus membayar fidyah dengan menyembelih seekor kambing dan membagikan dagingnya kepada fakir miskin, lalu mengerjakan Thawaf Wada' dan berjalan.
Kami katakan,"Mengenai pertanyaan Anda, jika jawabannya tidak boleh, adakah pendapat yang membolehkan melempar Jumrah sebelum matahari condong?"
Kami jawab,"Ada pendapat yang membolehkan melempar Jumrah sebelum matahari condong, tetapi pendapat itu tidak benar dan yang benar bahwa melempar Jumrah sebelum matahari condong pada hari setelah hari raya hukumnya tidak boleh, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Ambillah ibadah haji kalian dariku."(Op.cit)Sedangkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah melempar Jumrah pada hari-hari tersebut kecuali setelah matahari condong.
Jika ada orang bertanya, bukankah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melempar Jumrah setelah matahari condong karena kebetulan beliau melakukannya setelah matahari condong, dan sesuatu yang dilakukan secara kebetulan tidak berarti wajib?
Kami jawab:memang benar bisa jadi Rasulullah melakukannya secara kebetulan dan sesuatu yang dilakukan secara kebetulan tidak berarti wajib. Yang menunjukkan bahwa beliau melakukan itu secara kebetulan adalah karena setelah melempar Jumrah, beliau tidak menyuruh untuk melempar setelah matahari condong. Bukti lain yang menunjukkan bahwa tindakan itu bukan berarti wajib, karena suatu kewajiban tidak terjadi kecuali dengan perintah untuk mengerjakannya atau dilarang mengerjakannya.
Tetapi kami katakan bahwa tindakan itu menunjukkan adanya perintah yang berarti wajib. Alasannnya, Rasulullah menngakhirkan pelemparan hingga matahari condong sehingga ini menunjukkan pada hukum wajib. Karena seandainya melempar sebelum matahari condong hukumnya boleh, tentu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam akan melakukannya; karena pada waktu itu lebih mudah bagi kita dan lebih ringan, padahal Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah memilih antara dua hal kecuali beliau memilih yang paling mudah selama tidak berdosa, tetapi di sini beliau tidak memilih yang lebih mudah yaitu melempar Jumrah sebelum matahari condong, ini menujukkan bahwa melempar Jumrah sebelum matahari condong adalah dilarang.
Alasan kedua, yang menunjukkan bahwa tindakan Rasulullah itu mengandung arti wajib adalah bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melempar langsung setelah matahari condong sebelum shalat Dzuhur, seakan-akan beliau menunggu condongnya matahari dengan sabar agar bisa segera melempar, maka dari itu beliau mengakhirkan shalat Dzuhur padahal yang lebih baik adalah menyegerakan shalat di awal waktu, tetapi semua itu beliau lakukan supaya beliau bisa melempar setelah matahari condong.

43. Melempar Jumrah pada Tanggal 12 Dzulhijjah
Ada orang tidak melempar Jumrah pada tanggal kedua belas Dzulhijjah karena mengira bahwa ini adalah ta'ajjul, dan dia pulang sebelum mengerjakan Thawaf Wada', bagaimana hukum hajinya?
Jawaban:
Hajinya sah, karena dia tidak meninggalkan salah satu rukun haji. Tetapi jika dia tidak mabit di Mina pada malam tanggal dua belas Dzulhijjah, berarti dia telah meninggalkan tiga kewajiban haji, yaitu:
Kewajiban pertama, mabit di Mina pada malam tanggal dua belas.
Kewajiban kedua, melempar Jumrah pada tanggal kedua belas.
Kewajiban ketiga, Thawaf Wada'.
Pada setiap kewajiban yang ditinggalkannya itu, dia harus membayar dam dan menyembelihnya di Makkah, lalu dibagikan dagingnya pada orang-orang fakir miskin, karena menurut ulama', kewajiban haji yang ditinggalkan seseorang, harus diganti dengan dam dan berupa seekor kambing yang disembelih di Makkah dan dibagikan dagingnya kepada orang-orang fakir miskin.
Pada kesempatan kali ini saya ingin mengingatkan kepada saudara-saudara kami para pelaksana ibadah haji tentang kesalahan yang dilanggar oleh penanya, bahwa kebanyakan orang yang melaksanakan haji memahami seperti yang dia fahami dan mereka memahami bahwa makna firman Allah, "Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari," mereka memahami;"atau ingin keluar pada tanggal sebelas Dzulhijjah", mereka mengangap dua hari itu adalah hari raya dan tanggal sebelas Dzulhijjah. Masalahnya bukan seperti itu, tetapi itu adalah pemahaman yang salah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya."Makna "hari-hari yang berbilang "itu adalah hari Tasyriq dan hari Tasyriq dimulai tanggal sebelas, sehingga firman Allah, "Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari," atau dua hari dari hari Tasyriq, yaitu tanggal dua belas Dzulhijjah. Maka dari itu, orang-orang itu harus segera meluruskan pemahaman mereka seputar masalah ini sehingga tidak salah lagi.

44. Mabit di Luar Mina, karena Tidak Mendapatkan Tempa
Bagaimana hukumnya orang yang tidak mendapatkan tempat di Mina, lalu datang ke Mina pada malam hari dan tinggal di sana hingga setelah pertengahan malam kemudian pergi ke tanah Haram di sisa harinya?
Jawaban:
Tindakan seperti itu hukumnya boleh, tetapi sebaiknya dia melakukan yang sebaliknya, karena seharusnya yang dilakukan seorang haji adalah tinggal di Mina di waktu siang dan malam pada hari Tasyriq. Jika dia tidak mendapatkan tempat, maka dia harus tetap tinggal di situ dengan mencari tempat yang kosong di ujung perkemahan hingga walaupun sampai di luar Mina jika tidak mendapatkan tempat di Mina.
Sebagian ulama di zaman kita ini ada yang berpendapat bahwa jika seseorang tidak mendapat tempat di Mina, maka kewajibannya untuk mabit di Mina gugur dan dia boleh mabit di manapun, di Makkah atau di selain Makkah. Dalam hal ini mereke mengqiyaskannya dengan orang yang kehilangan salah satu anggota wudhu, maka gugurlah kewajiban untuk membasuhnya.
Tetapi pendapat ini perlu dikritisi, karena hukum bersuci berkaitan dengan anggota badan, sehingga jika anggota badan itu tidak ada, gugurlah kewajiban. Perlu diketahui, maksud dari mabit di Mina adalah agar seseorang berkumpul bersama-sama kaum Muslimin menjadi satu umat, maka yang harus dilakukan orang itu adalah membuat tenda sendiri di ujung tempat sehingga dia bisa bersama para jama'ah haji lainnya. Pendapat ini diperkuat bahwa jika masjid penuh dan orang-orang yang shalat di sekitar masjid banyak, maka shaf yang dibentuknya harus bersambung dengan yang di masjid sehingga menjadi satu jama'ah. Saya kira masalah mabit di Mina sama dengan masalah ini bukan seperti orang yang kehilangan anggota badan.

45. Thawaf Wada’ di Pagi Hari, tapi Baru Pergi di Sore Hari
Ada orang mengerjakan Thawaf Wada' di pagi hari, kemudian tidur dan baru pergi setelah Ashar, apakah sangsinya?
Jawaban:
Dia harus mengulang Thawaf Wada' untuk umrah dan haji, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Janganlah sekali-kali seseorang pergi sehinga mengakhirinya di Baitullah yaitu melakukan Thawaf Wada' terlebih dahulu."(Diriwayatkan Muslim){Ditakhrij oleh Muslim dalam kitab Al-Hajj, bab"Wujubu Thawaf al-Wada' wa Suquthuhu 'An Al-Haid",[963]}.
Beliau bersabda seperti ini pada waktu haji wada' dan sejak itulah Thawaf Wada' diwajibkan untuk pertama kalinya. Tidak ada hadits lain tentang umrah Rasulullah sebelum itu, yang menunjukkan bahwa beliau melakukan Thawaf Wada' sebelum pulang; karena Thawaf wada' diwajibkan pada waktu Haji Wada'. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tunaikan umrahmu sebagaimana kamu menunaikan kewajiban hajimu."(Muttafaq 'Alaihi){Ditakhrij oleh Al-Bukhori dalam kitab Al-Hajj, bab"Ghaslu Al-Khuluq Tsalatsa Marat",[1536];dan Muslim dalam kitab Al-Hajj, bab"Maa Yubaahu li Al-Mahram Bihajjin au Umratin",[1180]}.
Secara umum amalan haji dan umrah adalah sama, kecuali wukuf, mabit dan melempar Jumrah, karena menurut kesepakatan ulama' ketiga amalan itu adalah khusus dalam haji, sedangkan sisanya sama. Karena itulah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menamakan Umrah dengan haji kecil, seperti yang dijelaskan dalam hadits Amr bin Hazm yang panjang yang terkenal yang diterima oleh para ulama', walaupun sebenarnya hadits mursal, tetapi menjadi shahih karena para ulama menerimanya.


Selengkapnya...

Kamis, 12 November 2009

15 TANYA JAWAB MASALAH HAJI ( 2 )

16. Bolehkah Hukumnya Meminta Berkah dari Penutup Ka'bah?
Jawaban:
Meminta berkah dari penutup Ka'bah dan mengusapnya termasuk bid'ah, karena hal itu tidak diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Ketika Mu'awiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu Anhu mengelilingi Ka'bah dan mengusap semua bagian Ka'bah, dia ditentang oleh Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhuma, lalu Mu'awiyah menjawab, "Tidak ada sesuatupun dari Ka'bah yang tidak berguna." Ibnu Abbas menolak perkataan itu dengan berkata, "Rasulullah adalah teladan yang baik bagi kalian dan saya telah melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengusap dua Rukun Yamani," yaitu Hajar Aswad dan Rukun Yamani. Ini menjadi dalil bahwa kita tidak boleh mengusap Ka'bah dan bagian-bagiannya seperti yang dijelaskan dalam sunnah, karena ini termasuk berteladan yang baik kepada Rasulullah. Sedangkan Multazam yang berada di antara Hajar Aswad dan pintu, telah diriwayatkan daripara sahabat bahwa mereka berdiri di situ seraya berdoa. Wallahu a'lam.

17. Apakah Bekas Telapak Kaki yang Ada di Maqam Ibrahim Adalah Bekas Kedua Kaki Ibrahim atau Bukan?
Jawaban: Tidak diragukan lagi bahwa Maqam Ibrahim tetap (tidak berubah), sedangkan tempat yang diatasnya diberi kaca itu adalah Maqam Ibrahim, tetapi lubang yang ada di dalamnya tidak menunjukkan bahwa itu adalah bekas kedua telapak kaki, karena yang dikenal dari aspek histories bahwa bekas kedua kaki beliau telah hilang sejak zaman yang silam, tetapi lobang itu dibuat hanya sebagai tanda saja dan tidak mungkin kita memastikan bahwa lobang itu adalah tempat berpijaknya kedua kaki Ibrahim Alaihis-Salam.
Pada kesempatan ini saya ingin mengingatkan masalah ini bahwa sebagian orang yang haji dan umrah berdiri di Maqam Ibrahim dan berdoa dengan doa yang tidak diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, mungkin ada yang berdoa dengan suara keras sehingga menganggu orang-orang yang shalat dua rakaat Thawaf di belakang Maqam. Di Maqam itu tidak ada doa, tetapi disunnahkan untuk mengerjakan shalat dua rakaat di belakangnya, kemudian setelah salam langsung berdiri dan memberi kesempatan kepada orang lain yang ingin mengerjakan shalat sunnah thawaf dua rakaat.

18. Menemukan Najis Setelah Umrah
Ada orang yang setelah selesai mengerjakan umrah menemukan najis di pakaian ihramnya, bagaimana hukumnya?
Jawaban:
Jika seseorang mengerjakan thawaf dan sa'i untuk umrah, setelah itu dia menemukan najis di pakaian ihramnya, maka thawaf, sa'i dan umrahnya sah. Demikian itu karena jika seseorang tidak tahu bahwa di pakaiannya ada najis atau mengetahui tetapi lupa mencucinya, lalu shalat dengan memakai baju itu, maka shalatnya sah. Begitu juga jika seseorang mengerjakan thawaf dengan pakaian najis karena tidak tahu, maka thawafnya sah. Dalilnya adalah firman Allah, "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau salah." (Al-Baqarah:286).
Ini merupakan dalil umum yang dianggap sebagai salah satu kaidah syariat yang besar. Ada dalil khusus dalam masalah ini, yaitu pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersama shahabat-shahabatnya, dan di antara sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah shalat dengan mengenakan sepatu, lalu beliau melepas sepatu sehingga para shahabat pun melepas sepatu mereka. Ketika selesai shalat, beliau bertanya, "Mengapa kalian melepas sepatu?" Mereka menjawab, "Kami melihat engkau melepas kedua sepatumu, maka kami juga melepasnya." Beliau bersabda, "Sesungguhnya Jibril datang kepadaku lalu memberitahuku bahwa di kedua sepatu saya ada kotorannya."{Ditakhrij oleh Abu Dawud dalam kitab Ash-Shalah, bab "Ash-Shalah fi An-Ni'aal",[650]}.Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengulangi shalat, padahal pada awal shalatnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memakai sepatu yang najis. Ini menunjukkan bahwa orang yang shalat dengan memakai pakaian najis karena lupa atau tidak tahu maka shalatnya sah.
Di sini ada masalah, jika ada seseorang makan daging onta dan langsung shalat tanpa berwudhu dulu, karena dia mengira memakan daging kambing, apakah dia harus mengulangi shalatnya?
Menurut kami, dia harus mengulang shalatnya setelah dia berwudhu.
Jika seseorang bertanya, mengapa Anda berpendapat tentang orang yang shalat dengan memakai pakaian najis karena tidak tahu tidak perlu mengulangi shalat, sedangkan orang yang makan daging onta karena tidak tahu harus mengulangi shalat?
Kami jawab, karena kami mempunyai kaidah yang penting lagi bermanfaat, yaitu bahwa "perintah tidak gugur karena tidak tahu dan lupa, sedangkan larangan bisa gugur karena tidak tahu dan lupa." Dalil dari kaidah ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam , "Barangsiapa yang tertinggal shalatnya karena tidur atau lupa, maka hendaklah dia mengerjakannya ketika dia mengingatnya."(Op.cit)
Jika seseorang hanya mengerjakan dua rakaat untuk shalat Isya karena lupa dan baru mengingatnya setelah salam, maka dia harus menyempurnakannya ketika ingat. Ini menjadi bukti bahwa perintah tidak gugur karena lupa, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan kepada orang yang lupa shalat untuk segera mengerjakannya ketika ingat dan kewajibannya itu tidak gugur karena lupa.
Sedangkan dalil bahwa perintah tidak gugur karena tidak tahu adalah ada seorang laki-laki datang, lalu dia mengerjakan shalat tanpa tuma'ninah, kemudian datang kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam seraya mengucapkan salam. Lalu Nabi bersabda kepadanya,"Ulangilah karena sesungguhnya kamu belum sahalat." Beliau mengatakan demikian sebanyak tiga kali. Orang itu datang lagi, lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, "Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya kamu belum shalat."{Ditakhrij oleh Al-Bukhori dalam kitab Al-Adzan, bab "Wujub Al-Qira'ah", dan Muslim dalam kitab Ash-Shalah.}. Hingga akhirnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajarkan kepadanya dan dia pun bisa mengerjakan shalat dengan benar. Orang itu meninggalkan kewajiban karena tidak tahu. Hal itu bisa diketahui dari perkataannya,"Demi Dzat yang mengutusmu dengan haq, tidak ada yang lebih baik dari ini, maka ajarilah aku." Seandainya kewajiban bisa gugur karena tidak tahu, tentu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memaafkannya. Kaidah ini sangat penting dan bermanfaat bagi para pencari ilmu.

19. Apa yang Harus Dilakukan oleh Orang yang Meninggalkan Thawaf Ifadzah karena Tidak Tahu?
Apa yang Harus Dilakukan oleh Orang yang Meninggalkan Thawaf Ifadzah karena Tidak Tahu?
Jawaban:
Thawaf Ifadzah termasuk salah satu rukun haji dan tidak sempurna haji seseorang kecuali dengannya. Jika seseorang meninggalkannya, maka hajinya tidak sempurna dan harus mengulanginya lagi walaupun sudah sampai di rumahnya, lalu kembali mengerjakan Thawaf Ifadzah. Dalam hal ini, selama belum mengerjakan Thawaf Ifadzah maka tidak halal baginya bercampur dengan isterinya, karena dia belum mengerjakan tahalul Tsani (kedua) dan Tahalul Tsani tidak boleh dilaksanakan kecuali setelah Thawaf Ifadzah. Sedangkan Sa'i baik dalam haji Tamattu', Qiran maupun Ifrad tidak perlu dikerjakan lagi bila seseorang sudah mengerjakannya bersama (setelah) Thawaf Qudum.

20. Apakah yang dimaksud dengan Idhthiba'? Kapan hal itu disyariatkan?
Jawaban:
Idhthiba' adalah membuka bahu kanan dan menyampirkan dua pucuk surban ke bahu kiri. Hal ini disyariatkan dalam Thawaf Qudum, sedangkan di selain Thawaf Qudum tidak disyariatkan.

21. Mana yang Lebih Baik Menggundul Atau Memendekkan Rambut?
Hukumnya menggundul atau memendekkan rambut dalam umrah?
Mana yang lebih baik antara keduanya?
Jawaban:
Menggundul atau memperpendek rambut dalam umrah hukumnya wajib, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika datang ke Makkah untuk mengerjakan haji Wada', thawaf dan sa'i, beliau memerintahkan kepada setiap orang yang belum menyembelih hewan kurban agar memotong rambut kemudian bertahalul. Jika beliau menyuruh mereka untuk memperpendek-sedangkan asal dari perintah adalah wajib-menunjukkan bahwa memperpendek rambut hukumnya wajib. Dalil ini diperkuat dengan dalil lain bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka ketika terkepung dalam Perang Hudaibiyah agar mereka menggundul rambut hingga Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam marah ketika mereka tidak bersemangat menjalankan perintah itu.
Sedangkan pertanyaan, mana yang lebih baik dalam umrah, memperpendek saja atau menggundul? Yang lebih baik adalah menggundul, kecuali bagi orang yang mengerjakan haji Tamattu' yang datang terakhir, maka lebih baik dia memperpendek sehingga dia bisa mengundulnya nanti ketika haji.

22. Menunda Puasa Hingga Tiga Tahun
Ada seorang yang melaksanakan haji Tamattu' tidak mendapatkan hewan kurban, lalu dia puasa tiga hari di waktu haji dan belum puasa tujuh hari sisanya. Keadaan semacam ini berlangsung hingga tiga tahun, apa yang harus dilakukannya?
Jawaban:
Dia harus segera berpuasa sisa tujuh hari dari sepuluh hari yang belum dilaksanakannya, dan kami memohon kepada Allah agar Dia mengampuninya.

23. Bagaimana Hukumnya Orang yang Menggundul Rambutnya untuk Umrah di Negerinya?
Jawaban: Para ulama berpendapat bahwa mencukur rambut tidak dikhususkan pada tempat tertentu, jika dia ingin mencukur di Makkah atau di selain Makkah tidak apa-apa. Tetapi mencukur rambut dalam umrah dilakukan sebelum tahalul dan juga setelah pencukuran atau penggundulan itu ada Thawaf Wada'. Urut-urutan dalam pelaksanaan umrah adalah ihram, thawaf,sai', menggundul atau memendekkan rambut, dan Thawaf Wada' jika dia masih bermukim setelah pelaksanaan umrah. Adapun jika dia berpergian langsung setelah melaksanakan umrah, maka tidak perlu melaksanakan Thawaf Wada'. Artinya dia harus menggundul atau mencukur rambutnya di Makkah jika dia ingin bermukim di sana, karena setelah itu dia akan mengerjakan Thawaf Wada', sedangkan jika dia setelah thawaf dan sai' langsung pulang ke negerinya, maka tidak apa-apa hukumnya jika dia mencukur atau menggundul rambutnya di negerinya, tetapi dia masih tetap dalam ihramnya hingga dia memotong atau menggundul rambutnya.

24. Niat Ihram Tapi Tidak Jadi
Seseorang yang hendak mengerjakan haji Tamattu' telah berniat ihram untuk umrah, kemudian timbul pikiran bahwa dia tidak akan melaksanakan haji, apakah dia dikenai suatu sangsi?

Jawaban:
Dia tidak dikenai sangsi apa-apa, karena seseorang yang berniat mengerjakan haji Tamattu', lalu berniat ihram untuk umrah dan telah menyempurnakannya, kemudian berubah pikiran bahwa dia tidak akan mengerjakan haji sebelum berniat ihram haji, maka tidak apa-apa baginya, kecuali jika dia bernazar. Jika dia bernazar akan naik haji pada tahun ini, maka dia wajib menunaikan nazarnya. Jika dia tidak bernazar maka tidak berdosa baginya jika dia meninggalkan haji setelah melaksanakan umrah. Wallahu al-Muwafiq.

25. Umrah tapi Belum Bertahallul
Bagaimana hukumnya orang yang berniat ihram untuk haji tamattu' dan mengerjakan umrah tetapi belum bertahalul dari ihramnya hingga menyembelih binatang kurban karena tidak tahu? Apa sangsinya? Apakah hajinya sah?

Jawaban:
Harus diketahui bahwa jika seseorang berniat ihram untuk haji Tamattu', maka jika dia telah mengerjkan thawaf dan sai', dia harus memendekkan semua rambut di kepala dan bertahalul dari ihramnya. Itulah yang harus dilakukan. Jika sejak awal dia telah berniat haji sebelum melakukan thawaf-atau thawaf umrah-, kemudian melanjutkan pelaksanaan haji setelah umrah tanpa bertahalul dari ihram umrahnya, maka tidak apa-apa baginya, karena dalam hal ini dia melaksanakan haji Qiran dan binatang kurban yang disembelihnya adalah untuk haji Qiran.
Tetapi jika dia tetap pada niat umrahnya hingga ketika mengerjakan thawaf dan sai', menurut sebagian besar ulama berpendapat bahwa ihram hajinya tidak sah;karena tidak sah hukumnya memasukkan haji kedalam umrah setelah melaksanakan thawaf.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hal semacam itu tidak apa-apa karena dia tidak tahu. Adapun menurut pendapat saya hal itu tidak apa-apa dan hajinya sah. Insya Allah.

26. Waktu Masuk Ke Muzdalifah
Suatu kaum tersesat sebelum sampai di Muzdalifah. Ketika di tengah jalan menuju ke Muzdalifah mereka berhenti untuk mengerjakan shalat Maghrib dan Isya' pada jam satu malam. Kemudian mereka masuk kota Muzdalifah ketika adzan Subuh dan mereka mengerjakan shalat Subuh di situ, apakah mereka dikenai sangsi?

Jawaban:
Mereka tidak terkena denda apa-apa, karena mereka sempat menemui shalat Subuh di Muzdalifah ketika mereka memasukinya waktu adzan Subuh dan shalat Subuh di dalamnya di akhir malam. Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, "Barangsiapa ikut menyaksikan shalat kami ini dan wukuf bersama kami hingga kita kembali, dan telah wukuf sebelum itu di Arafah di malam atau siang hari, maka hajinya telah sempurna dan menghilangkan dosa-dosanya."{Ditakhrih oleh Al-Bukhori dalam kitab Al-Adzan, bab"Wujubu Al-Qira'ah li Al-Imam wa Al-Ma'mum",[707];dan Muslim dalam kitab Ash-Shalah, bab"Wujubu Qira'ati Al-Fatihah fi Kulli Rak'atin",[397]}. Tetapi orang itu telah keliru karena mereka mengakhirkan shalat Isya hingga setelah pertengahan malam, karena waktu shalat Isya adalah hingga pertengahan malam, seperti yang dijelaskan dalam hadits shahih Muslim dari Hadits Abdullah bin Amru bin Al-Ash dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

27. Mewakilkan Melempar Jumrah Padahal Mampu Melakukannya
Seorang wanita beranjak dari Muzdalifah di akhir malam dan mewakilkan kepada anaknya untuk melepar Jumrah padahal dia mampu, bagaimana hukumnya?

Jawaban:
Melempar Jumrah termasuk manasik haji, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkannya dan melakukannya sendiri. Beliau bersabda, "Sesungguhnya thawaf itu dilaksanakan di Ka'bah antara bukit Shafa danMarwah sedangkan melempar Jumrah dilakukan untuk mengingat Allah."(Op.cit) Maka melempar Jumrah adalah ibadah yang dengannya manusia mendekatkan diri kepada Tuhannya. Melempar Jumrah disebut ibadah karena manusia ketika melemparkan kerikil-kerikil di tempat itu, dalam rangka untuk menyembah Allah dan mengingat-Nya. Tindakan itu dilakukan hanya untuk menyembah Allah, maka dari itu ketika seseorang melempar Jumrah, dia harus khusu' dan tunduk kepada Allah. Jika dia dihadapkan pada dua pilihan antara segera melempar Jumrah di awal waktu atau melemparnya di akhir waktu; jika dia mengakhirkannya akan dapat melempar dengan tumakninah, khusu' dan hatinya hadir, maka mengakhirkannya lebih baik, karena keutamaan dalam melempar Jumrah ini, berkaitan dengan ibadah itu sendiri, bukan berkaitan dengan waktu. Sesuatu yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri lebih didahulukan daripada sesuatu yang berkaitan dengan waktu atau tempat ibadah. Maka dari itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:"Tidak sah orang yang sedang menahan lapar atau menahan buang dua air(kotoran)".(Op.cit)
Dengan demikian, seseorang yang sedang menahan buang air atau menahan syahwat yang kuat untuk makan, sebaiknya mengakhirkan shalatnya dari awal waktunya. Begitu juga jika ada dua pilihan antara melempar Jumrah pada awal waktu tetapi harus berdesak-desakan dan harus berusaha keras untuk bisa bertahan hidup, dengan mengakhirkannya hingga di akhir waktu walaupun hingga di waktu malam tetapi bisa melakukannya dengan tenang dan hati yang hadir, maka mengakhirkannya lebih baik. Maka dari itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan keringanan kepada keluarganya yang lemah untuk mengakhirkan pulang dari Muzdalifha di akhir malam, sehingga mereka tidak berdesakdesakan yang biasanya terjadi jika orang-orang datang setelah matahari terbit.
Jika jelas seperti ini masalahnya, maka tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk mewakilkan kepada orang lain dalam melempar Jumrah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah." Tidak ada perbedaan di sini antara laki-laki dna perempuan. Jika telah jelas pula masalahnya dan bahwa melempar Jumrah termasuk ibadah dan tidak diperkenankan bagi laki-laki atau perempuan yang mampu untuk mewakilkan di dalamya, maka dia wajib melempar Jumrah sendiri, kecuali orang laki-laki atau perempuan yang sakit atau hamil yang mengkhawatirkan kehamilannya, maka mereka boleh mewakilkannya.
Adapun masalah yang terjadi pada wanita yang diceritakan penanya, bahwa wanita itu tidak melempar Jumrah sendiri padahal dia mampu, maka untuk berjaga-jaga, dia harus menyembelih hewan kurban di Makkah dan membagikan dagingnya kepada orang-orang fakir, karena telah meninggalkan kewajiban tersebut.

28. Melempar Jumrah tapi Tidak Jatuh di Lubang
Seorang haji melempar Jumrah Aqabah dari arah timur dan batunya tidak jatuh di lubang. Dia berada pada hari ketiga belas, apakah dia harus mengulangi untuk melempar Jumrah seluruhnya?

Jawaban:
Dia tidak wajib mengulangi seluruh lemparan, tetapi harus mengulang lemparan yang salah saja, yaitu hanya mengulangi melempar Jumrah Aqabah saja dengan lemparan yang benar, tetapi tidak disyaratkan harus melemparnya dari tempat dia arah timur yang di dalamnya terjadi kesalahan, asalkan kerikilnya bisa jatuh ke dalam lubang. Maka dari itu, dia boleh melempar dari je,mbatan dari arah timur supaya batunya bisa jatuh ke dalam lubang.

29. Melempar Jumrah
Jika satu atau dua lemparan dari tujuh lemparan ada yang tidak kena sasaran dan waktunya telah lewat sehari atau dua hari setelah itu, apakah pelemparan Jumrahnya harus diulangi lagi? Jika harus diulangi, apakah pelemparan sesudahnya juga harus diulangi?
Jawaban:
Jika dia masih kurang satu atau dua lemparan, atau lebih jelasnya kurang satu atau dua kerikil pada salah satu pelemparan Jumrah, maka menurut para fuqaha, jika yang kurang itu ada di akhir pelemparan, maka dia hanya memnyempurnakan kekurangannya saja dan tidak wajib mengulangi lagi dari pertama. Jika bukan pelemparan yang terakhir, maka dia harus menyempurnakan yang kurang dan melempar Jumrah yang sesudahnya.
Yang benar menurut saya, dia hanya menyempurnakan yang kurang saja dan tidak perlu mengulangi pelemparan yang sesudahnya. Demikian itu karena keharusan untuk melempar Jumrah secara "berurutan" menjadi gugur karena ketidak tahuan atau karena lupa. Sedangkan orang itu telah melakukan pelemparan yang kedua dan dia tidak yakin bahwa dia harus mengulang pelemparan yang sebelumnya, sehingga dia berada di antara tidak tahu dan lupa. Maka jika demikian kasusnya kami katakan kepadanya, "Lemparlah batu kerikil yang kurang saja, dan tidak wajib atas anda melempar yang sesudahnya."
Sebelum mengakhiri jawaban ini, saya ingin mengingatkan bahwa sasaran pelemparan (lubang) itu adalah tempat berkumpulnya batu kerikil dan lemparan seseorang tidak harus mengenai tiang yang ditegakkan di tempat itu, maka jika seseorang melemparkan batu kerikil ke dalam lubang dan tidak mengenai tiang, maka lemparanya sah. Wallahu a'lam.

30. Bolehkah Melempar Jumrah dengan Kerikil Sebelumnya
Ada yang mengatakan bahwa tidak boleh hukumnya melempar dengan batu kerikil yang telah dipakai untuk melempar sebelumnya, apakah ini benar? Apakah dalilnya?
Jawaban:
Itu tidak benar, karena orang yang melarang untuk melempar dengan batu yang sudah pernah dilemparkan itu beralasan pada tiga alasan:
1. Batu kerikil yang sudah pernah digunakan untuk melempar itu seperti air musta'mal, yang sudah pernah dipakai bersuci wajib, sedangkan air yang sudah pernah dipakai untuk bersuci wajib suci tetapi tidak menyucikan.
2. Batu kerikil itu seperti hamba sahaya yang dimerdekakan, maka dia tidak dimerdekakan lagi setelah itu dengan membayar kifarat atau selaninya.
3. Jika melempar Jumrah dengan batu yang sudah dipakai untuk melempar diperbolehkan berarti boleh hukumnya semua orang haji itu, hanya melempar dengan satu batu secara bergantian. Setelah dia melempar, lalu Anda mengambilnya hingga tujuh kali, kemudian ada orang lagi melakukan hal yang sama hingga tujuh kali.
Ketiga alasan jika kita renungkan semuanya sangat lemah:
Alasan pertama, kami menyangkal pendapat yang mengatakan bahwa air yang sudah dipakai untuk bersuci adalah suci tetapi tidak menyucikan, karena pendapat ini tidak berdalil dan tidak mungkin bagi kita untuk memindahkan air dari sifat aslinya, yaitu suci kecuali dengan dalil. Maka dari itu, air yang telah dipakai untuk bersuci wajib adalah suci dan mensucikan. Jika hukum asal yang dijadikan kiyas kepadanya tidak ada, maka tidak ada pula hukum cabangnya.
Sedangkan alasan yang kedua yaitu mengqiyaskan batu yang telah dipakai dengan budak yang dimerdekakan, ini adalah qiyas dengan sesuatu yang berbeda. Seorang budak yang dimerdekakan, berarti dia telah merdeka dan bukan budak lagi, sehingga tidak ada tempat baginya untuk pembebasan kedua. Lain halnya dengan batu, jika batu dilemparkan, maka dia tetap batu walaupun telah dileparkan, sehingga pelemparan itu tidak menghilangkan hakikat makna dari batu yang boleh digunakan untuk melempar. Maka dari itu, jika nanti budak yang telah dimerdekakan itu menjadi budak lagi karena sebab syariat, maka dia boleh dimerdekakan lagi.
Alasan ketiga, mengharuskan para haji untuk menggunakan satu batu kerikil saja;menurut saya jika memungkinkan silahkan dilakukan, tetapi hal itu tidak mungkin dan tidak akan dilakukan oleh seorang pun karena kerikil yang ada sangat banyak dan melimpah.
Berdasarkan sanggahan tersebut di atas maka jika ada satu atau beberapa kerikil Anda yang jatuh di sekitar Jumrah, maka ambillah sebagai gantinya dan lemparkan dengannya, baik Anda mengira itu sudah pernah digunakan untuk melempar atau belum.



Selengkapnya...

Senin, 02 November 2009

15 TANYA JAWAB MASALAH HAJI ( 1 )

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
1. Niat Ihram dari Miqat daalam Keadaan Haidh
Seorang Wanita Berniat Ihram Dari Miqat Dalam Keadan Haid, Kemudian Setelah Sampai Di Makkah Dia Suci Tetapi Telah Melepas Pakaian Ihramnya, Bagaimana Hukumnya?
Jawaban:
Seorang wanita haid yang telah berniat ihram dari miqat kemudian sampai di Makkah dalam keadaan suci, maka dia boleh mengganti pakaiannya sesuka hatinya dan boleh memakai pakaian yang disukainya selama pakaian itu diperbolehkan. Begitu juga seorang laki-laki, boleh mengganti pakaian ihramnya dengan pakaian ihram lainnya dan tidak dilarang baginya.

2. Memakai Cadar pada Waktu Haji
Seorang Wanita Berniat Ihram Dari Miqat Dalam Keadan Haid, Kemudian Setelah Sampai Di Makkah Dia Suci Tetapi Telah Melepas Pakaian Ihramnya, Bagaimana Hukumnya?

Jawaban:
Seorang wanita haid yang telah berniat ihram dari miqat kemudian sampai di Makkah dalam keadaan suci, maka dia boleh mengganti pakaiannya sesuka hatinya dan boleh memakai pakaian yang disukainya selama pakaian itu diperbolehkan. Begitu juga seorang laki-laki, boleh mengganti pakaian ihramnya dengan pakaian ihram lainnya dan tidak dilarang baginya.

3. Memakai Cadar pada Waktu Haji
Bagaimana Hukumnya Menutup Wajah dengan Cadar Pada Waktu Haji, Karena Saya Pernah Membaca Sebuah Hadits yang Maknanya Bahwa Wanita yang Sedang Ihram Tidak Boleh Memakai Cadar Dan Kaos Tangan. Saya Juga Pernah Membaca Hadits Lain Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, Ketika Dalam Haji Dia Berkata,"Kami Jika Berada Bersama-Sama Laki-Laki Maka Kami Menutupi Wajah Kami Dan Jika Kami Berada Di Depan Mereka Kami Memnbuka Wajah Kami." Bagaimana Kita Mempertemukan Antara Kedua Hadits Tersebut?

Jawaban:
Yang benar dalam hal ini adalah seperti yang ditunjukkan oleh hadits itu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang wanita yang sedang ihram untuk memakai cadar. Wanita yang sedang ihram (muhrimah) dilarang keras memakai cadar, baik dilewati lelaki asing maupun tidak. Maka dari itu diharamkan bagi wanita muhrimah untuk memakai cadar baik dalam haji maupun umrah. Kata cadar sudah dikenal bagi wanita, yaitu menutup wajah dengan penutup yang ada lubang pada bagian matanya.
Sedangkan hadits Aisyah tidak bertentangan dengan larangan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk memakai cadar, karena dalam hadits Aisyah tidak ada penjelasan yang menunjukkan bahwa wanita-wanita itu memakai cadar. Tindakan semacam itu memang harus dilakukan wanita, jika ada lelaki asing yang melewatinya. Dengan demikian kami katakan bahwa memakai cadar bagi wanita yang sedang ihram hukumnya haram secara mutlak, sedangkan membuka wajah lebih baik baginya. Tetapi jika ada laki-laki berjalan di dekatnya, dia wajib menutup wajahnya, namun penutup itu bukan cadar.

4, Melanggar Larangan Ihram Karena Lupa atau Tidak Tahu
Bagaimana Hukumnya Melanggar Larangan-Larangan Ihram Karena Lupa Atau Tidak Tahu?

Jawaban:
Jika seseorang melanggar larangan-larangan ihram setelah memakai baju ihramnya tetapi dia belum berniat ihram, maka dia tidak wajib apa-apa, karena anggapan itu didasarkan pada niat bukan pada pemakaian pakaian ihram. Adapun jika dia telah berniat dan memasuki ibadah haji, lalu melanggar salah satu larangan haji karena lupa atau tidak tahu maka tidak apa-apa hukumnya. Tetapi setelah halangan itu hilang, baik halangan karena lupa hingga dia ingat atau halangan karena tidak tahu sehingga dia tahu, maka dia harus segera melepaskan diri dari larang itu.
Misalnya, ada seorang laki-laki telah berniat ihram, lalu dia memakai baju biasa karena lupa., maka tidak apa-apa baginya, tetapi ketika dia ingat, dia harus segera melepas baju itu. Begitu juga jika dia lupa sehingga tetap memakai celananya, kemudian ingat setelah berniat dan membaca Talbiyah, maka dia harus segera melepas celananya dan tidak didenda apa-apa. Begitu juga kalau dia melakukan hal itu karena tidak tahu, maka tidak apa-apa baginya. Seperti seseorang mengira bahwa memakai kaos yang tidak ada jahitannya, diperbolehkan bagi orang yang sedang ihram, tetapi ternyata dia tahu bahwa kaos walaupun tidak ada jahitannya, termasuk pakaian yang dilarang. Maka setelah tahu dia harus segera melepasnya.
Kaidah umum dalam hal ini bahwa semua larangan ihram jika dikerjakan manusia karena lupa, tidak tahu atau terpaksa, tidak apa-apa karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau salah."(Al-Baqoroh:286)
Kemudian Allah menjawab,"Kami telah mengabulkannya."
Allah juga berfirman,"Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."(Al-Ahzaab:5)
Mengenai masalah berburu yang merupakan salah satu larangan ihram, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman secara khusus,"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-nya yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi Makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya Dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. dan Barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa."(Al-Maidah:5)
Tidak ada perbedaan di sini dalam larangan ihram antara memakai pakaian, wewangian, membunuh binatang buruan, merontokkan rambut dan sebagainya. Jika ada ulama yang membedakan antara ini dan itu , tetapi yang benar tidak ada perbedaan, karena itu termasuk larangan yang dilanggar oleh seseorang karena tidak tahu, lupa dan terpaksa.

5. Bolehkan Membayar Kifarah Haji di Negeri Sendiri?
Ada seorang haji melakukan beberapa kesalahan dalam ibadah hajinya, dan dia belum membayar kifarat hingga pulang ke negerinya. Bolehkah dia membayar kifaratnya itu di negerinya, atau haruskah dia kembali lagi ke Makkah untuk membayarnya?Jika harus membayarnya di Makkah, bolehkah diwakilkan?
Jawaban:
Kita harus tahu dulu kesalahan apa yang dilanggarnya, jika dia meninggalkan kewajiban maka dia harus membayar fidyah yang disembelih di Makkah; karena itu berkaitan dengan ibadah dan tidak boleh disembelih di tempat lain selain Makkah. Jika dia melanggar salah satu larangan, maka dia harus memilih untuk mengerjakan salah satu dari tiga hal; memberi makan enam puluh orang miskin yang dilakukan di Makkah atau di tempat pelanggaran, atau puasa tiga hari yang bisa dikerjakan di Makkah atau selainnya. Kecuali jika larangan yang dilanggar itu jima' sebelum tahalul pertama, maka dia harus menyembelih onta di tempat kejadian atau di Makkah dan membagikannya kepada orang-orang miskin; melakukan perburuan hukumannya juga sama seperti itu, memberi makan enam puluh orang miskin, atau puasa. Sedangkan pelaksanaan puasa boleh dilakukan di mana saja. Jika memberi makan atau menyembelih kurban, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,"Sebagai hadnya yang dibawa ke Ka'bah"(Al-Maidah:95), maka penyembelihan itu harus dilakukan di tanah haram dan boleh diwakilkan, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mewakilkan kepada Ali Radhiyallahu Anhu untuk menyembelih sebagian kurbannya.

6. Bolehkah Mendahulukan Pelaksanaan Sa'i sebelum Thawaf?
Jawaban:
Mendahulukan sa'i sebelum thawaf Ifadzah hukumnya boleh, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melakukan wukuf pada Nahar (hari raya Idul Adha), dan orang-orang pun mempertanyakan. Ada seseorang berkata kepadanya,"Saya mengerjakan sa'i sebelum thawaf."Beliau menjawab,"Tidak apa-apa."{Ditakhrij oleh Al-Bukhori dalam kitab Al-Hajj, bab "Idza Rama Ba'damaa amsaa",[1734]; dan Muslim dalam kitab Al-Hajj, bab"Man Halaqa Qabla An-Nahr"}. Barangsiapa yang mengerjakan haji Tamattu', maka dia boleh mendahulukan sa'i haji sebelum thawaf. Begitu juga pada haji Ifrad dan haji Qiran, mendahulukan sa'i sebelum Thawaf hukumnya boleh karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,"Tidak apa-apa."

7. Hukum Mengerjakan Umrah Berkali-Kali
Bagaimana hukumnya mengerjakan umrah berkali-kali pada bulan Ramadhan?Adakah jarak waktu tertentu dalam pelaksanaan antara dua umrah?
Jawaban:
Melakukan umrah berkali-kali pada bulan Ramadhan termasuk bid'ah, karena mengulang-ulang umrah dalam satu bulan bertentangan dengan apa yang dilakukan para salaf, hingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan dalam kitab Al-Fatawa bahwa menurut kesepakatan para salaf mengulang-ulang pelaksanaan umrah dan memperbanyaknya dalam satu bulan hukumnya makruh, apalagi mengulang-ulangnya di bulan Ramadhan. Seandainya memperbanyak umrah di bulan Ramadhan termasuk perkara yang disunnahkan, tentu para salaf lebih getol menjalankannya daripada kita dan tentu mereka akan mengulang-ulang umrah tersebut. Nabi saja, orang yang paling bertakwa kepada Allah dan paling mencintai kebaikan, tinggal di Makkah pada tahun penaklukan selama sembilan belas hari mengqashar shalat dan tidak melakukan umrah. Begitu juga Aisyah Radhiyallhu Anha, ketika meminta izin kepada Nabi untuk melakukan Umrah, beliau menyuruh saudara laki-lakinya, Abdurrahman bin Abu Bakar, agar keluar dengannya dari tanah haram menuju miqat untuk berniat umrah dan Nabi tidak menyarankan kepada Abdurrahman agar dia juga melaksanakan umrah. Seandainya ini disyariatkan, tentu beliau menyarankan kepadanya agar ikut serta melakukannya dan jika ini disyariatkan kepada para sahabat, tentu Abdurrahman bin Abu Bakar melaksanakannya, karena dia keluar menuju miqat.
Waktu yang ditetapkan antara dua umrah seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad Rahimahullah adalah menunggu hingga rambutnya tumbuh menghitam seperti arang atau memanjang.

8. Melanggar Larangan Ihram Karena Lupa atau Tidak Tahu
Bagaimana Hukumnya Melanggar Larangan-Larangan Ihram Karena Lupa Atau Tidak Tahu?
Jawaban:
Jika seseorang melanggar larangan-larangan ihram setelah memakai baju ihramnya tetapi dia belum berniat ihram, maka dia tidak wajib apa-apa, karena anggapan itu didasarkan pada niat bukan pada pemakaian pakaian ihram. Adapun jika dia telah berniat dan memasuki ibadah haji, lalu melanggar salah satu larangan haji karena lupa atau tidak tahu maka tidak apa-apa hukumnya. Tetapi setelah halangan itu hilang, baik halangan karena lupa hingga dia ingat atau halangan karena tidak tahu sehingga dia tahu, maka dia harus segera melepaskan diri dari larang itu.
Misalnya, ada seorang laki-laki telah berniat ihram, lalu dia memakai baju biasa karena lupa., maka tidak apa-apa baginya, tetapi ketika dia ingat, dia harus segera melepas baju itu. Begitu juga jika dia lupa sehingga tetap memakai celananya, kemudian ingat setelah berniat dan membaca Talbiyah, maka dia harus segera melepas celananya dan tidak didenda apa-apa. Begitu juga kalau dia melakukan hal itu karena tidak tahu, maka tidak apa-apa baginya. Seperti seseorang mengira bahwa memakai kaos yang tidak ada jahitannya, diperbolehkan bagi orang yang sedang ihram, tetapi ternyata dia tahu bahwa kaos walaupun tidak ada jahitannya, termasuk pakaian yang dilarang. Maka setelah tahu dia harus segera melepasnya.
Kaidah umum dalam hal ini bahwa semua larangan ihram jika dikerjakan manusia karena lupa, tidak tahu atau terpaksa, tidak apa-apa karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau salah."(Al-Baqoroh:286)
Kemudian Allah menjawab,"Kami telah mengabulkannya."
Allah juga berfirman,"Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."(Al-Ahzaab:5)
Mengenai masalah berburu yang merupakan salah satu larangan ihram, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman secara khusus,"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-nya yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi Makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya Dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. dan Barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa."(Al-Maidah:5)
Tidak ada perbedaan di sini dalam larangan ihram antara memakai pakaian, wewangian, membunuh binatang buruan, merontokkan rambut dan sebagainya. Jika ada ulama yang membedakan antara ini dan itu , tetapi yang benar tidak ada perbedaan, karena itu termasuk larangan yang dilanggar oleh seseorang karena tidak tahu, lupa dan terpaksa.

8. Hukum Mengerjakan Shalat di Tengah Pelaksanaan Thawaf?
Bagaimana hukumnya mengerjakan shalat di tengah-tengah pelaksanaan thawaf? Haruskah dia memulai thawafnya dari awal lagi? Jika tidak memulai dari awal, dari mana dia menyempurnakan?
Jawaban:
Jika iqamat shalat dikumandangkan ketika seseorangsedang mengerjakan thawaf haji, umrah maupun sunnah, maka dia boleh meninggalkan thawafnya dan shalat, kemudian kembali lagi dan menyempurnakannya. Dia tidak perlu mengulanginya dari awal, tetapi cukup menyempurnakan dari tempat yang dia berhenti sebelumnya, dan tidak perlu mengulangi dari putaran pertama, karena thawafnya yang pertama dibangun atas dasar yang benar dan atas seizin syariat, maka tidak mungkin menjadi batal kecuali dengan dalil syar'i.

9. Apakah yang dimaksud dengan Idhthiba'? Kapan hal itu disyariatkan?
Jawaban:
Idhthiba' adalah membuka bahu kanan dan menyampirkan dua pucuk surban ke bahu kiri. Hal ini disyariatkan dalam Thawaf Qudum, sedangkan di selain Thawaf Qudum tidak disyariatkan.

10. Bolehkah Mengerjakan Shalat Sunnah pada Waktu Sa'i?
Jawaban:
Mengerjakan shalat sunnah pada waktu sa'i hukumnya tidak boleh, karena sa'i disyariatkan secara tersendiri baik dalam ibadah haji maupun umrah, seperti yang difirmankan Allah,
"Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui."(Al-Baqoroh:158)571

11. Apa yang Harus Dilakukan oleh Orang yang Meninggalkan Thawaf Ifadzah karena Tidak Tahu?
Apa yang Harus Dilakukan oleh Orang yang Meninggalkan Thawaf Ifadzah karena Tidak Tahu?
Jawaban:
Thawaf Ifadzah termasuk salah satu rukun haji dan tidak sempurna haji seseorang kecuali dengannya. Jika seseorang meninggalkannya, maka hajinya tidak sempurna dan harus mengulanginya lagi walaupun sudah sampai di rumahnya, lalu kembali mengerjakan Thawaf Ifadzah. Dalam hal ini, selama belum mengerjakan Thawaf Ifadzah maka tidak halal baginya bercampur dengan isterinya, karena dia belum mengerjakan tahalul Tsani (kedua) dan Tahalul Tsani tidak boleh dilaksanakan kecuali setelah Thawaf Ifadzah. Sedangkan Sa'i baik dalam haji Tamattu', Qiran maupun Ifrad tidak perlu dikerjakan lagi bila seseorang sudah mengerjakannya bersama (setelah) Thawaf Qudum.

12. Mana yang Lebih Baik Mencium Hajar Aswad atau Jauh dari Berdesak-desakan?
Saya melihat ada sebagian orang yang thawaf dengan mendorong isterinya agar bisa mencium Hajar Aswad, mana yang lebih baik, mencium hajar Aswad ataukah menjauh dari berdesak-desakan dengan laki-laki?
Jawaban:
Jika penanya melihat fenomena yang aneh semacam itu, saya juga melihat fenomena yang lebih aneh lagi, yaitu saya melihat ada orang yang belum salam dari shalat fardhu, langsung lari dengan kencang agar bisa mencium hajar Aswad. Dia rela membatalkan shalat fardhunya, yang merupakan salah satu rukun Islam, hanya supaya bisa mencium Hajar Aswad yang tidak diwajibkan dan juga tidak disyariatkan, kecuali jika dilakukan ketika thawaf. Ini terjadi karena kebodohan manusia, kebodohan yang sangat disayangkan, karena mencium Hajar Aswad dan menyalaminya tidak disunnahkan kecuali dalam Thawaf, karena saya tidak tahu bahwa menyelaminya di luar thawaf termasuk sunnah. Saya katakan demikian karena saya tidak tahu, dan saya berharap jika ada orang yang mempunyai pengetahuan yang berbeda dengan apa yang tidak saya ketahui ini, hendaklah dia menyampaikannya kepada kami, semoga Allah memberikan pahala kepadanya.
Dengan demikian, mencium Hajar Aswad termasuk sunnah thawaf dan tidak menjadi sunnah jika usaha untuk mencium Hajar Aswad itu menyakiti orang yang thawaf itu, atau menyakiti orang lain. Jika usaha mencium Hajar Aswad itu menyakitinya atau menyakiti orang lain, maka lebih baik kita pindah ke tingkat yang kedua yang disyariatkan Rasulullah kepada kita, yaitu dengan cara memegang atau meraba hajar Aswad dengan tangan. Jika hal itu tidak bisa dilakukan kecuali dengan cara berdesak-desakan, maka kita pindah ke tingkat yang ketiga yang disyariatkan Rasulullah, yaitu, memberikan isyarat (melambaikan) tangan kita, bukan dengan kedua tangan, tetapi dengan satu tangan kanan saja, kita lambaikan kepadanya dan tidak memegangnya. Begitulah sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Jika masalahnya lebih tragis lagi seperti yang dijelaskan penanya, yaitu mendorong isterinya, mungkin saja isterinya sedang hamil atau sudah tua, atau wanita yang lemah, atau mengangkat anak kecil agar bisa mencium hajar Aswad, semua itu termasuk perkara mungkar, karena hal itu dilakukan dengan cara membahayakan isterinya dan berdesak-desakan dengan laki-laki. Tindakan semacam ini hukumnya bisa jadi haram atau makruh, maka diingatkan kepada orang itu agar tidak melakukan hal seperti itu lagi. Jika ada peluang, maka lakukanlah dan jangan memaksakan diri, karena kalau kamu memaksakan diri Allah akan memaksamu.

13. Berselisih dalam Menghitung Putaran Thawaf
Seorang wanita melaksanakan haji Tamattu' bersama suaminya. Pada putaran keenam dari thawaf, sang suami berkata kepada isterinya,"ini adalah putaran ketujuh' dan dia tetap pada pendiriannya, apakah hajinya sah?
Jawaban:
Jika wanita itu yakin bahwa dia berada pada putaran keenam dan bahwa dia belum menyelesaikan thawafnya, maka umrahnya belum sempurna sampai sekarang, karena thawaf merupakan salah satu rukun umrah yang tidak mungkin umrah sempurna, kecuali dengannya. Jika setelah itu dia berniat ihram untuk haji, maka hajinya adalah haji Qiran, karena dia memasukkan haji ke dalam umrah sebelum umrahnya selesai. Jika wanita itu ragu-ragu ketika melihat suaminya bersikeras pada pendiriannya bahwa dia sudah melakukan putaran ketujuh, maka tidak apa-apa baginya; karena jika dia ragu dan suaminya yakin, maka dia harus menguatkan pendapat suaminya. Wallhu a'lam.

14. Membaca Buku Doa Ketika Thawaf dan Sa'i
Jika orang yang melaksanakan ibadah haji atau umrah itu hanya mengetahui sedikit doa, bolehkah dia membaca buku-buku doa dalam thawaf, sa'i dan ibadah-ibadah lainnya?
Jawaban:
Orang yang melaksanakan haji atau umrah itu cukup membaca doa-doa yang diketahuinya saja, karena doa-doa yang diketahui itu digunakan untuk berdoa, maka dia akan tahu maknanya dan akan meminta kepada Allah sesuai dengan keinginannya dalam doa tersebut.
Adapun jika dia mengambil buku atau dituntun oleh seorang imam dengan doa yang dia tidak memahaminya, hal itu tidak bermanfaat baginya. Banyak orang yang mengikuti bacaan atau doa pemandu haji sementara mereka tidak memahami maknanya. Sedangkan panduan-panduan yang menjelaskan bahwa di setiap putaran thawaf ada doanya sendiri-sendiri adalah bid'ah yang tidak boleh dipakai oleh kaum Muslimin karena itu sesat. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah menetapkan untuk ummatnya, doa tertentu untuk setiap putaran, tetapi beliau bersabda,"Sesungguhnya thawaf itu dilakukan di Ka'bah, antara bukit Shafa dan Marwwah, dan melempar Jumrah dilakukan untuk berdzikir kepada Allah."{Ditakhrij oleh Abu dawud dalam kitab Al-Manasik, bab "Fi Ar-Raml", At-Tirmidzi dalam Abwaab Al-Hajj, bab"Maa Jaa'a Kaifa Tarmi Al-Jimar", dan Imam Ahmad dalam Al-Musnad,IV,64}.
Dengan demikian, yang harus dilakukan orang mukmin adalah berhati-hati dari buku-buku panduan tersebut dan hendaklah dia memohon kepada Allah apa yang diinginkannya. Berdzikir kepada Allah dengan bahasa yang difahami lebih baik daripada menggunakan buku-buku panduan yang tidak dia ketahui maknanya, bahkan lafalnya saja tidak tahu apalagi maknanya.

15. Adakah Doa Khusus Haji dan Umrah yang Dibaca ketika Thawaf, Sa'i dan Sebagainya?
Jawaban:

Tidak ada doa khusus dalam haji dan umrah, dan orang boleh membaca doa apa saja sesuai dengan keinginannya. Tetapi jika seseorang ingin mengambil doa yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam , itu lebih baik, seperti ketika berada di antara Rukun Yamain dan Hajar Aswad membaca doa,"Rabbanaa aatinaa fi addunyaa hasanah wa fi al-aakhirati hasanah, wa qinaa 'adzaaba an-naar."begitu juga doa yang dibaca pada hari Arafah, doa ketika berada di antara Shafa dan Marwah dan sebagainya.
Jika ada sedikit pengetahuan tentang doa yang diambil dari sunnah, maka sebaiknya dia membacanya, sedangkan jika tidak tahu, maka cukup baginya membaca apa yang ada di benaknya dan diketahuinya. Hal itupun bukan wajib sifatnya tetapi hanya sunnah.
Pada kesempatan kali ini saya ingin mengatakan bahwa buku-buku panduan manasik yang bentuknya kecil yang dibawa oleh para jamaah haji dan umrah yang di dalamnya ada doa-doa khusus pada setiap putaran, termasuk bid'ah dan membawa kerusakan, karena orang yang membacanya mengira bahwa itu diperintahkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kemudian mereka yakin bahwa mereka telah beribadah dengan lafal-lafal tertentu itu.
Mereka membacanya dan tidak memahami maksudnya, kemudian mereka mengkhususkan doa-doa tertentu pada setiap putaran. Jika dia telah selesai membaca doa sebelum habis putaran, seperti karena berdesak-desakan, maka mereka diam di sisa putarannya dan jika putaran telah habis sebelum selesai membaca doa, mereka memutus doa dan membiarkannya, hingga walaupun mereka telah berdiri mengatakan "Allahumma" dan belum menyebutkan apa keinginannya, dia telah memutus dan membiarkannya. Semua ini termasuk bahaya yang ditimbulkan dari adanya bid'ah tersebut. Begitu juga doa-doa tertentu ketika berada di maqam Ibrahim, sesungguhnya tidak ada sama sekali hadits yang menjelaskan tentang doa ketika berada di Maqam Ibrahim. Biasanya ketika berada di Maqam Ibrahim orang membaca,"Dan jadikanlah sebagian dari makam Ibrahim sebagai tempat untuk shalat."(Al-Baqarah:125) setelah itu shalat dua rakaat di belakangnya.
Doa yang dibaca orang-orang dengan suara keras itu dan menganggu orang yang sedang mengerjakan shalat di Maqam itu adalah mungkar dari dua sisi:
1. Tidak ada hadits dari Nabi yang meriwayatkan masalah tersebut sehingga bisa disebut bid'ah.
2. Bacaan doa itu menganggu orang lain yang sedang shalat di belakang maqam.
Kebanyakan hal yang kita dapati dalam manasik haji adalah bid'ah, baik cara pelaksanaanya, waktunya maupun tempatnya.


Selengkapnya...

Senin, 28 September 2009

SHOLAT ' ID

Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
1. Hukum Shalat Hari Raya
Shalat hari raya adalah wajib atas kaum laki-laki dan perempuan, karena selalu mengerjakannya dan menyuruh kaum perempuan keluar agar mengerjakannya.
Dari Ummi ‘Athiyah r.a. bertutur, "Kami diperintah (oleh Nabi) untuk membawa keluar anak perempuan yang sudah baligh dan anak perempuan yang masih perawan (pada hari raya puasa dan haji)." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 463 no: 974, Muslim II: 605 no: 890, ‘Aunul Ma'bud III: 487 no: 1124, Tirmidzi II: 25 no: 537, Ibnu Majah I: 414 no: 1307, dan Nasa'i III: 180).
Dari Hafsah binti Sirin, ia bercerita, "Kami pernah melarang anak-anak perawan kami keluar (ke tanah lapang) pada hari raya, kemudian datanglah seorang perempuan, lalu singgah di istana Bani Khalaf Kemudian aku datang kepadanya, lalu ia bercerita, bahwa suami saudara perempuannya ikut perang bersama Rasulullah sebanyak dua belas kali. Sedangkan saudara perempuan itu ikut perang bersama Rasulullah saw. sebanyak enam kali, lalu ia berkata, Kami (kaum wanita) mengurus pasukan yang sakit dan mengobati prajurit yang terluka, kemudian bertutur, "Ya Rasulullah, salah seorang diantara kami tidak punya jilbab lalu apakah ia berdosa manakala tidak hadir?" Maka Rasulullah menjawab, "Hendaklah rekannya sesama perempuan memberi pinjaman jilbabnya kepadanya kemudian hadirlah (ke tanah lapang) mendengar kebajikan dan dakwah yang ditujukan kepada orang-orang mukmin," (Muttafaqun ‘alaih: al-Misykah no: 1431 dan Fathul Bari II : 469 no: 980).

2. Waktu Shalat 'Id
Dari Yazid bin Khumair ar-Rahabi, berkata: Telah keluar Abdul Busr, seorang sahabat Rasulullah dengan orang-orang pada hari raya idul atau adha, kemudian ia menyayangkan keterlambatan sang imam maka Abdullah menegaskan, "Sesungguhnya kami telah meluangkan waktu kami ini, yaitu dikala bertasbih" (Shahih: Shahih Abu Daud no: 1005, ‘Aunul Ma'bud III: 486 1124 dan Ibnu Majah 1:418 no: 1317).

Yang dimaksud "Ketika matahari mulai meninggi" ialah ketika matahari mulai tinggi dan waktu terlarang sudah dan waktu melaksanakan shalat sudah tiba. Periksa ulang ‘Aunul Ma'bud III:486.

3. Pergi Ke Tanah Lapang
Dari hadits-hadits di atas kita dapat memahami, bahwa lokasi pelaksanaan shalat ‘id adalah tanah yang lapang, bukan di dalam masjid sebab, Nabi mengerjakan shalat ini di tanah lapang dan sunnah ini dilanjutkan oleh generasi selanjutnya.

4. Apakah Perlu Dikumandangkan Adzan Dan Iqamah?
Dari Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah r.a. mereka berkata, "Tidak pernah dikumandangkan adzan baik pada hari raya fitri maupun pada hari raya adha." (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 451 no: 960 dan Muslim II: 604 no: 886).

Dari Jabir (bin Abdullah) r.a. bahwa tiada adzan untuk shalat hari raya fitri (dan hari raya adha) ketika khatib (belum) datang dan tidak (pula) sesudahnya, tiada (pula) iqamah, tiada (pula) seruan, tiada (pula) sesuatu apapun, pada hari itu tiada seruan adzan dan tiada (pula) iqamah." (Hadits ini bagian dari hadits Imam Muslim sebelumnya).

5. Sifat Shalat ‘Id
Shalat hari raya terdiri atas dua raka'at, yang berisi dua belas kali takbir, tujuh kali pada raka'at pertama sesudah takbiratul ihram, sebelum membaca ayat, dan lima kali takbir pada raka'at kedua sebelum membaca ayat.

Dari Amr bin Syu'aib dari bapaknya dan kakeknya bahwa Rasulullah (biasa) takbir pada (shalat) dua hari raya tujuh kali pada raka'at pertama lima kali pada raka'at kedua." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no : Misya'atul Mashabih no: 144 dan Ibnu Majah I: 407 no: 1279).

Dari Aisyah bahwa Rasulullah takbir pada shalat ‘idul fitri dan idul adha tujuh kali (pada raka'at pertama) dan lima (pada raka'at kedua), selain takbir untuk ruku' (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 639, Shahih Ibnu Majah no: 1058, Ibnu Majah I: 407 no: 1280 clan ‘Aunul Ma'bud IV: 6-7 no: 1l38 dan 37).

6. Surah Yang Dibaca Pada Shalat Hari Raya
"Dari an-Nu'man bin Basyir r.a. bahwa Rasulullah saw. biasa membaca pada dua hari raya dan pada Jum'at SABBIHIS MA RABBIKAL A'LAA dan HAL ATAAKA HADITSUL GHASYIAH." (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 644, Shahih Ibnu Majah no: 1281, Muslim II: 598 no: 878, ‘Aunul Ma'bud III 472 no 1109, Tirmidzi II 22 no 531, Nasa'i. III 184 dan Ibnu Majah I : 408 no 1281 tanpa lafadz WA FIL JUMU'ATI).

Dari Ubaidillah bin Abdullah, ia berkata: Pada hari raya Umar pergi (ke tanah lapang), lalu bertanya kepada Abu Waqid al-Laitsi, "Pada hari raya seperti ini Nabi membaca surah apa? "Jawabnya, "Surah Qaaf dan surah Iqtarabat."(Shahih: Irwa-ul Ghalil III: 118, Ibnu Majah no: 106, Muslim II: 607 no: ‘Aunul Ma'bud IV: 15 no: 1142, Trimidzi II: 23 no: 532, Nasa'i III: 183 lbnu Majah I: 407 no: 1282).

7. Khutbah Setelah Shalat
Dari Ibnu Abbas r.a. bercerita, "Aku menghadiri shalat ‘id bersama Rasulullah, Abu Bakar, Umar dan Utsman, mereka semuanya shalat sebelum Khutbah." (Muttafaqun Alaih: Fathul Bad II: 453 no: 962 dan Muslim II: no: 884).

8. Shalat Sunnah Sebelum Dan Sesudah Shalat Hari Raya
Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi shalat dua raka'at pada hari raya, beliau tidak pernah shalat sebelumnya dan tidak (pula) sesudahnya. (Muttafaqun ‘alaih: fathul Bari II: 453 no: 964, Muslim II: 606 no: 884 dan Nasa'i III: 193).

9. Beberapa Amalan Sunnah Yang Dianjurkan Pada Hari Raya

a. Mandi Sekujur Tubuh
Dari Ali r.a. bahwa ia pernah ditanya perihal mandi, maka dia menjawab, "Yaitu pada hari Jum'at, hari ‘Arafah, hari raya, dan hari raya Idul Adha."(HR. Baihaqi).

b.Menggunakan pakaian terbaik
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah menggunakan kain ganggang Yaman pada hari raya," (Sanadnya jayyid Ash-shabihah no: 1279 dan Al-haitsami dalam Majma'uz Zawa-id II: 201 berkata "Diriwayatkan Thabrani dalam kitab al-Ausath dengan perawi-perawi yang tsiqah.")

c. Makan sebelum berangkat pada hari raya puasa
Dari Anas r.a. berkata, "Adalah Rasulullah tidak berangkat (ke tanah lapang) pada idul fitri sehingga makan beberapa buah kurma." (Shahil Shahih Tirmidzi no: 448, Fathul Bari II: 446 no: 953 dan Tirmidzi II: 27 no: 541)

d. Menangguhkan sarapan pagi pada hari ‘idul adha hingga sarapan pagi dengan daging qurbannya.
Dari Abu Buraidah bahwa Rasulullah tidak berangkat (ke tanah lapang) pada hari idul fitri sebelum sarapan, dan tidak sarapan pada hari raya qurban hingga beliau menyembelih binatang qurbannya). (Shahih Shahih Tirmidzi 447, Ibnu Khuzaimah II: 341 no: 1426, Tirmidzi II:2 no: 540 dengan lafadz,"HATTAA YUSHALLIYA (=hingga beliau shalat).

e. Melewati jalan lain
Dari Jabir r.a. berkata, "Adalah Nabi saw. apabila hari raya, melewati jalan yang berbeda (antara pulang dan pergi)." (Shahih: Al Misykah no: 1434 dan Fathul Bari II: 472 no: 968).

Takbir pada dua hari raya Takbir pada hari idul fitri sebagaimana firman Allah, "Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu rnengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. al-Baqarah: 185)
Adapun takbir pada hari raya qurban, didasarkan ayat Qur'an, "Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang." (Al-Baqarah: 203). Dan firman Allah, "Demikianlah Allah (telah menundukkan untuk kami supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu."(QS. Al-Hajj : 37).

10. Waktu Takbir Pada Hari Raya Fitri Semenjak Keluar Dari Rumah Sampai Shalat
Ibnu Abi Syaibah, "Telah bercerita kepada kami Yazid bin Harun dari Ibnu Abi Dzi'ib dan az-Zhuri bahwa Rasululiah keluar (dan rumahnya) pada hari raya idul fitri dengan takbir sampai tiba di tanah lapang dan hingga mengerjakan shalat, apabila beliau sudah shalat, beliau berhenti dan bertakbir." (Shahih Ash Shahihah no: 171 dan Nasa'i II: 164).

Syaikh al-Albani dalam irwa-ul Ghalil III : 123 mengetengah "Sanad ini shahih, secara mursal dan diriwayatkan lagi dan jalur yang lain dan Ibnu Umar secara marfu'. Imam Baihaqi III : 279 meriwayatkannya dan jalur Abdullah bin Umar dan Nafi dan Abdullah Umar ra, ia berkata:

Bahwa Rasulullah pernah pergi (ke tanah lapang) pada dua hari raya bersama al-Fadhl bin Abbas, Abdullah bin Abbas, Ali, Ja'far, Hasan, Husain, Usamah Zaid bin Haritsah, dan Aiman bin Ummi Aiman ra dengan suara lantang mengucapkan kalimat tahlil dan takbir, beliau jalan kaki sampai tiba di tanah lapang apabila selesai, beliau kembali dengan jaian kaki (lagi) hingga tiba di rumahnya."

Saya (al-Albani) berkata, "Rawi-rawinya kepercayaan, rawi-rawi yang biasa dipakai Imam Muslim, terkecuali Abdullah bin Umar al-Umari al-Mukabbar yang dikatakan oleh Imam adz Dzahabi, ia Shaduq seorang yang jujur, namun hafalannya diragukan" Ath-Dzahabi dan Imam lainnya mengelompokkan Abdullah bin Umar al-Umari ke dalam kelompok perawi yang dipakai Imam Muslim. Jadi perawi seperti ini bisa dijadikan sebagai Syahid penguat yang baik bagi hadits mursal az-Zuhri. Maka, hadits ini menurut pemeriksaan saya, hadits di atas sanadnya shahih, baik yang mauquf, maupun yang marfu'. Wallahu A'lam. "Selesai.

11. Waktu Takbir Pada Hari Raya Qurban Dimulai Sejak Shubuh Hari ‘Arafah Hhingga Ashar Akhir Hari-Hari Tasyrik
Kesimpulan di atas berasal dari riwayat yang shahih dari Ali, Ibnu abbas dan Ibnu Mas'ud ra. Adapun dari Ali diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaiban II: 165 melalui dua jalur sanad, salah satunya jayyid (bagus), dan yang jayyid ini Imam Baihaqi III: 314 meriwayatkan. Kemudian beliau meriwayatkan yang semakna melalui Ibnu Abbas dan sanadnya shahih. Imam Hakim I : 300 meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud dengan lafadz yang hampir sama. Periksa kembali kitab Irwa-ul Ghalil III:125.

Adapun Shighah takbir (Redaksi takbir) maka permasalahannya sangat fleksibel. Ada yang lafadz takbirnya genap, sebagaimana yang ditetapkan dalam riwayat berikut:

Dari Ibnu Mas‘ud bahwa ia bertakbir pada hari Tasyrik (dengan lafadz), ‘ALLAAHU AKBAR, ALLAAHU AKBAR, LAA ILAAHA ILLALLAH, ALLAAHU AKBAR, ALLAAHU AKBAR WA LILAAHIL HAMD."

Riwayat di atas dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah II: 167 dengan sanad Shahih. Tetapi, di tempat yang lain, ia menyebutkannya lagi dengan sanad itu juga, namun lafadz takbirya tiga kali. Demikian pula Imam Baihaqi III: 315 meriwayatkannya dari Yahya bin Sa'id dan al-Hakam Ibnu Farwah Abu Bakar dan Ikrimah dan Ibnu Abbas dengan lafadz takbir tiga kali, dan sanadnya shahih juga. (Irwa-ul Ghalil III: 125)

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 311-319.
Selengkapnya...

Kamis, 27 Agustus 2009

ORANG YANG WAJIB MELAKSANAKAN SHIYAM

Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Para ulama’ sepakat bahwa shiyam, puasa wajib dilaksanakan oleh orang muslim, yang berakal sehat, baligh, sehat, dan muqim (tidak sedang bepergian) dan untuk perempuan harus dalam keadaan suci dari darah haidh dan nifas. (lihat Fihus Sunnah I:506). Adapun tidak diwajibkannya shiyam atas orang yang tidak berakal sehat dan belum baligh, didasarkan pada sabda Nabi saw., “Diangkat pena dari tiga golongan (pertama) dari orang yang gila hingga sembuh, (kedua) dari orang yang tidur hingga bangun dari tidurnya, dan (ketiga) dari anak kecil sampai ihtilam (bermimpi basah)." (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:3514 dan Tirmidzi II:102 no: 693).

Adapun tidak diwajibkannya puasa atas orang yang tidak sehat, tapi muqim, mengacu pada firman Allah SWT, “Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah. 184).
Namun jika ternyata orang yang sakit dan yang musafir itu tetap berpuasa, maka puasanya mencukupi keduanya. Karena dibolehkannya keduanya berbuka itu hanyalah sebagai rukhshah, keringanan bagi mereka. Maka jika mreka berdua tetap bersikeras untuk mengamalkan ketentuan semula ‘azimah, maka itu lebih baik.

Manakah Yang Lebih Afdhal Berpuasa Atau Berbuka
Jika dengan berpuasa orang yang sakit dan yang musafir tidak mendapatkan kesulitan yang berarti, maka berpuasa lebih afdhal. Sebaliknya jika mereka berdua ternyata menghadapi kesulitan dan kepayahan yang sangat, maka berbuka lebih afdhal.
Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. ia berkata, “Dahulu kami berperang bersama Rasulullah saw. di bulan Ramadhan, maka diantara kami ada yang tetap berpuasa dan ada pula yang berbuka. Orang yang (tetap) berpuasa tidak marah (mencela) kepada yang berbuka dan tidak (pula) yang berbuka kepada yang berpuasa. Mereka berpendirian bahwa barang siapa yang kuat, lalu berpuasa, maka yang demikian itu lebih baik. (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 574, Muslim II:787 no.96 dan 1116, dan Tirmidzi II: 108 no: 708).
Adapun tentang tidak diwajibkannya shiyam atas perempuan yang haidh dan yang nifas, didasarkan pada hadits dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. bahwa Nabi saw. bersabda bersabda, “Bukankah bila perempuan datang bulan ia tidak (boleh) shalat dan puasa ? Maka yang demikian sebagai pertanda kekurangan pada agamanya?” (Shahih: Mukhtashar Bukhari no:951 dan Fathul Bari IV: 191 no: 1951).
Apabila perempuan yang haidh atau nifas itu tetap melaksanakan ibadah shiyam, maka tidak cukup dan tidak berguna bagi mereka. Sebab, salah satu syarat wajibnya berpuasa bagi kaum perempuan adalah harus bersih dari haidh dan nifas, sehingga keduanya tetap wajib menqadha’nya.
Dari Aisyah r.a. ia berkata, “Kami biasa haidh pada zaman Rasulullah saw., lalu kami diperintah menqadha puasa, namun tidak diperintah menqadha’ shalat. (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 630, Muslim I:265 no:355, ‘Aunul Ma’bud I:444 no:259-260, Tirmidzi II: 141 no784 dan Nasa’i IV:191).

Hal-Hal Yang Wajib Dilakukan Kakek Dan Nenek Yang Tua Renta Serta Orang Yang Sakit Menahun Yang Tidak Diharapkan Kesembuhannya
Orang yang tidak mampu lagi berpuasa karena usianya sudah lanjut, atau karena yang semisalnya, maka harus berbuka puasa dengan syarat ia harus memberi makan setiap hari satu orang miskin. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) ; memberi makan seorang miskin." (Al-Baqarah:184).
Dari ‘Atha’ bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas r.a. membaca ayati ini, lalu ia berkomentar, “Sesungguhnya ayat ini tidak mansukh, yaitu kakek dan nenek yang sudah tua renta yang tidak mampu berpuasa hendaklah masing-masing memberi makan seorang miskin sebagai ganti tiap-tiap hari (yang mereka tidak puasa itu).” (Shahih:Irwa’ul Ghalil no:912 dan Fathul Bari VIII:179 no:4505).

Wanita Yang Hamil Dan Yang Menyusui
Wanita yang hamil dan yang sedang menyusui yang merasa berat melaksanakan ibadah shiyam, atau keduanya merasa khawatir mengganggu kesehatan bayinya., bila tetap berpuasa, maka keduanya boleh berbuka dengan mengemban kewajiban membayar fidyah dan tidak ada kewajiban mengqadha’ bagi mereka. Hal ini mengacu kepada riwayat berikut.
Dari Ibnu Abbas r.a. ia bertutur, “Kakek yang sudah tua renta dan nenek yang sudah lanjut usia, yang merasa amat berat melaksanakan ibadah shiyam diberi disepensasi untuk berbuka kalau keduanya mau, dan harus memberi makan seorang miskin setiap hari dan mereka tidak boleh mengqadha. Kemudian ketentuan itu dihapus oleh ayat ini, FAMAN SYAHIDA MINKUMUSY SYAHRA FALSYASHUMU (Karena itu, barang siapa di anara kamu hadir (di negeri/ tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu), dan tetaplah bagi kakek dan nenek yang lanjut usia, bila merasa berat menjalankan shiyam, dan wanit yangh amil dan yang menyusui yang merasa khawatir (mengganggu kesehatan bayinya), agar berbuka dan mereka harus memberi makan seorang miskin sebagai ganti tiap-tiap hari (yang mereka tidak puasa itu)”. (Sanadnya kuat diriwayatkan : Baihaqi IV: 230).
Dari Ibnu Abbas r.a. katanya, “Jika wanita yang hamil merasa khawatir terganggu kesehatan dirinya dan wanita yang menyusui khawatir terganggu kesehatan bayinya ketika, berpuasa Ramadhan, hendaklah mereka berbuka dan memberi makan orang miskin sebagai ganti tiap hari (yang mereka tidak puasa itu), dan mereka tidak usah mengqadha’nya.” (Shahih: yang oleh al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil IV:19 nisbatkan kepada ath-Thabari no: 2758 dan ia berkata, “Sanadnya shahih menurut persyaratan Imam Muslim).
Dari Nafi’I, ia bertutur, “Seorang puteri Ibnu Umar menjadi isteri seorang laki-laki Quraisy, dan ketika hamil merasa haus dahaga di (siang hari bulan) Ramadhan, lalu diperintah oleh Ibnu Umar agar berbuka dan (sebagai gantinya) agar memberi makan setiap hari satu orang miskin.” (Shahih sanadnya: Irwa-ul Ghalil IV:20 dan Daruquthni :207 no: 15).

Kadar Banyaknya Makanan Yang Wajib Diberikan
Mengenai hal ini dijelaskan dalam riwayat berikut.
Dari Anas bin Malik r.a. ia mengatakan bahwa ia pernah tidak mampu berpuasa pada suatu tahun (selama sebulan), lalu ia membuat satu bejan tsarid (roti yang diremuk dan direndam dalam kuah. Lihat Kamus al-Munawwir (Penterj.) kemudian mengundang sebanyak tigapuluh orang miskin, sehingga dia mengenyangkan mereka. (Shahih Sanadnya: Irwa-ul Ghalil IV: 21 dan Daruquthni II: 207 no:16).
umber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm.391 -- 396.


Selengkapnya...

RUKUN SHIYAM

Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

a. Niat, ini didasarkan pada firman Allah SWT, "Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (dalam menjalankan) agama dengan lurus."(Al-Bayyinah:5). Dan sabda Nabi saw., “Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang telah diniatkannya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari I:9 no:1, Muslim III:1515 no: 1907, ‘Aunul Ma’bud VI: 284 no:2186, Tirmidzi III: 100 no: 1698, Ibnu Majah II: 1413 no:4277 dan Nasa’i I:59).
Niat yang tulus ini harus ditancapkan dalam hati sebelum terbit fajar shubuh setiap malam. Hal ini ditegaskan dalam hadits dari Hafshah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang tidak menetapkan niat puasa sebelum fajar (shubuh), maka tiada puasa baginya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6538, ‘Aunul Ma’bud VII: 122 no: 2437, Tirmidzi :116 no: 726, dan Nasa’i IV: 196 dengan redaksi yang hampir sama).
b. Menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa, sejak terbitnya fajar sampai dengan terbenamnya matahari.
Allah Ta’ala berfirman, "Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.(Al-Baqarah: 187).

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
Yang membatalkan puasa ada enam perkara :
a
Makan dengan sengaja, dan
b.Minum dengan sengaja.
Oleh karena itu, jika makan atau minum karena lupa, maka yang bersangkutan tidak wajib mengqadha’nya dan tidak perlu membayar kafarah.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa lupa, padahal ia berpuasa, lalu makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya ia diberi makan dan minum oleh Allah." (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:6573, Muslim II,809 no:4455 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 155 no: 1923, Ibnu Majah I:535 no: 1673 dan Tirmidzi II: 441 no:717)
c. Muntah dengan sengaja
Maka dari itu, kalau seseorang terpaksa muntah, maka ia tidak wajib mengqadha’nya dan.tidak usah membayar kafarah.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa yang terpaksa yang terpaksa muntah, maka tidak ada kewajiban qadha’ atasnya; dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka haruslah mengqadha!” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6243, Tirmidzi II: 111 no: 716, ‘Aunul Ma’bud VII: no:2363 dan Ibnu Majah I : 536 no: 1676).
d
Haidh dan
e. Nifas,
Hal ini berdasar ijma’ ulama’
walaupun itu terjadi menjelang waktu menghrib.

f. Jima’, yang karenanya orang yang bersangkutan wajib membayar kafarah sebagaimana termaktub dalam berikut ini :

Dari Abu Hurairah r.a. berkata, tatkala kami sedang duduk-duduk di samping Nabi saw., tiba-tiba ada seorang sahabat bertutur, “Ya Rasulullah saya celaka,” Beliau bertanya, “Ada apa?" Jawabnya, “Saya berkumpul dengan isteriku, padahal saya sedang berpuasa (Ramadhan), “Maka sabda Rasulullah saw., “Apakah engkau mampu memerdekakan seorang budak?” Jawabnya, “Tidak” Beliau bertanya (lagi), “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Jawabnya, “Tidak” Beliau bertanya (lagi), “Apakah engkau mampu memberi makan enampuluh orang miskin? “Jawabnya, “Tidak”. Maka kemudian Nabi saw. diam termenung ketika kami sedang duduk termenung, tiba-tiba dibawakan kepada Nabi sekeranjang kurma kering. Lalu beliau bertanya, “Di mana orang yang tanya itu?” Jawabnya, “Saya (ya Rasulullah). “Sabda Beliau (lagi), “Bawalah sekeranjang kurma ini, lalu shadaqahkanlah (kepada orang yang berhak).” Maka (dengan terus terang) laki-laki itu berujar, “Akan kuberikan kepada orang yang lebih fakir daripada saya ya Rasulullah ? sungguh, di antara dua perkampungan itu tidak ada keluarga yang lebih fakir daripada keluargaku,” Maka kemudian Rasulullah saw. tertawa hingga tampa gigi taringnya. Kemudian beliau bersabda kepadanya, “(Kalau begitu), berilah makan dari sekeranjang kurma ini kepada keluargamu.” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari IV : 163 no: 1936, Muslim II: 781 no: 111, ‘Aunul Ma’bud VII : 20 no: 2373, Tirmidzi II : 113 no: 720 dan Ibnu Majah I : 534 no: 1671).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm.396 -- 396

Selengkapnya...

HUKUM, KEUTAMAAN, DAN KEWAJIBAN SHIYAM

Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Hukum Shiyam
Shiyam, puasa Ramadhan, adalah salah satu dari rukun Islam dan salah satu fardhu dari sekian banyak fardhunya. Allah berfirman yang artinya, "Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. al-Baqarah:183)
Sampai pada ayat :
"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu."(QS.al-Baqarah:185).

Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Islam ditegakkan di atas lima perkara; (pertama) bersaksi bahwa tiada Ilah (yang patut diibadahi) kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul utusan-Nya, (kedua) menegakkan shalat, (ketiga) mengeluarkan zakat, (keempat) menunaikan ibadah haji, dan (kelima) berpuasa di bulan Ramadhan." (Muttafaqun 'alaih: Fathul Bari I:106 no:46, Muslim I:40 no:11, 'Aunul Ma'bud II: 53 no:387, dan Nasa'I IV:21).

Keutamaan Puasa Ramadhan
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam sejarah pada hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala di sisi Allah, niscaya diampunilah baginya dosa-dosanya yang telah lalu." (Muttafaqun 'alaih : Fathul Bari I:115 no:1901, Nasa'i IV: 157, Ibnu Majah I: 526 no:1641, dan Muslim I: 523 no:760).
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Allah SWT berfirman, "Setiap amal anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Maka, sesungguhnya ia untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya. Shiyam (puasa) adalah sebagai tameng. Oleh karena itu, janganlah berteriak dan jangan (pula) bersikap dengan sikapnya orang-orang jahil. Jika ia dicela atau disakiti oleh orang lain, maka katakanlah, 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa', (dua kali). Demi Dzat yang diri Muhammad berada di genggaman-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah pada hari kiamat (kelak) jauh lebih harum dari pada semerbaknya minyak kasturi. Di samping itu, orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan yang dirasakannya; apabila ia berbuka maka ia merasa gembira dengan buka puasanya, dan apabila berjumpa dengan Rabbnya, maka ia berbahagia dengan puasanya.". (Muttafaqun 'alaih: Fathul Bari IV:118 no:1904, Muslim II : 807 no:163 dan 1151 dan Nasa'i IV:163).
Dari Shal bin Sa'ad bahwa Nabi saw. bersabda, "Sejatinya di dalam surga terdapat satu pintu yang disebut Rayyan, pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk (syurga) melalui pintu tersebut, tak seorangpun selain mereka yang boleh masuk darinya. Dikatakan kepada mereka, "Di mana orang-orang yang (rajin) berpuasa ? "Maka segera mereka berdiri (untuk masuk darinya), tak seorang pun selain mereka yang boleh masuk darinya. Manakala mereka sudah masuk (syurga darinya), maka dikuncilah pintu tersebut, sehingga tak seorangpun (selain mereka) yang masuk darinya." (Muttafaqun 'alaih : Fathul Bari IV:111 no: 1896, Muslim II:808 no:1152, Tirmidzi II :132 no:762 dan Ibnu Majah I:525 no:1640 serta Nasa'i IV:168 dengan redaksi yang mirip dan ada tambahan pada Imam yang tiga)

Kewajiban Berpuasa Ramadhan Dengan Melihat Hilal
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Berpuasalah kamu bila sudah melihat hilal (bulan Ramadhan) dan berbukalah kamu bila sudah melihat hilal (bulan Syawal); jika mendung atas kalian, maka genapkanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari!” (Muttafaqun ‘alaih : Muslim II:762 no:19 dan 1083 dan ini lafadnya, Fathul Bari IV:119 no: 1909 dan Nasa’i IV:133).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 385--388. Terakhir kali diperbaharui ( Thursday, 06 December 2007 )

Selengkapnya...

Selasa, 18 Agustus 2009

BAB HAIDH DAN NIFAS

Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Haidh adalah darah yang sudah dikenal di kalangan wanita dan tidak ada batas minimal atau maksimalnya dalam syarat. Ketentuannya dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing orang. Adapun nifas ialah darah yang keluar karena melahirkan, dan ada batas maksimalnya empat puluh hari.
Dari Ummu Salamah r.a., ia berkata, “Kaum wanita yang nifas tidak shalat pada masa Rasulullah selama empat puluh hari.” (Hasan Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 530, ‘Aunul Ma’bud I: 50,1 no: 307. Tirmidzi I: 92 no: 139. dan Ibnu Majah I: 213 no: 648).
Kapan saja perempuan melihat dirinya suci sebelum empat puluh hari, maka ia harus segera mandi besar dan bersuci. Namun, manakala darahnya keluar lebih dan empat puluh hari, maka ia harus mandi menyempurnakan empat puluh dan bersuci.
1. Hal-Hal yang Haram Bagi Wanita yang Haidh dan Nifas
Diharamkan atas perempuan yang haidh dan yang nifas apa saja yang diharamkan atas orang yang berhadas. (Periksa kembali Adab Buang Hajat pada poin ke-11 dan seterusnya) dan ditambah dengan beberapa hal berikut:
1. Puasa, yang harus diqadha ketika telah suci.
Dari Mu’adzah ia bertanya kepada Aisyah r.a., “Mengapa perempuan yang haidh, hanya mengqadha puasa, dan tidak (mau) mengqadha’ shalat?” Maka jawab Aisyah, “Yang demikian itu terjadi pada diri kami (ketika) bersama Rasulullah, yaitu agar kami mengganti puasa dan tidak diperintahkan mengqadha’ shalat.” (Muttafaqun ‘alaih: Muslim I: 265 no: 335 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari I: 421 no: 321, Tirmidzi 1: 87 no: 130, ‘Aunul Ma’bud: 444 no: 259 dan Ibnu Majah I: 207 no: 631).
2. Jima’ melalui vagina, sebagaimana yang ditegaskan firman Allah swt., "Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah Haidh itu adalah kotoran. Oleh sebab itu. Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu." (Al-Baqarah: 222).
Di samping itu ada sabda Nabi saw., “Lakukanlah segala sesuatu (terhadap istrimu), kecuali jima.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:527, Muslim I:246 no: 302, ‘Aunul Ma’bud I:439 no:255, Tirmidzi IV:282 no:4060, Ibnu Majah I:211 no:644 dan Nasa’i I:152”).
2. Hukum Orang yang Bercampur dengan Perempuan yang Haidh
Imam Nawawi dalam kitab Syarhu Muslim 111:204 mengatakan, “Andaikata seorang muslim meyakini akan halalnya jima’ dengan perempuan yang sedang haidh melalui kemaluannya, ia menjadi kafir, murtad. Kalau ia melakukannya tanpa berkeyakinan halal, yaitu jika ia melakukannya karena lupa, atau karena tidak mengetahui keluarnya daerah haidh atau tidak tahu, bahwa hal tersebut haram, atau karena dia dipaksa oleh pihak lain, maka itu tidak berdosa dan tidak pula wajib membayar kaffarah. Namun, jika ia mencampuri perempuan yang haidh dengan sengaja dan tahu, bahwa dia sedang haidh dan tahu bahwa hukumnya haram dengan penuh kesadaran, maka berarti dia telah melakukan maksiat besar sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Imam Syafii, bahwa perbuatannya adalah dosa besar, dan ia wajib bertaubat. Adapun mengenai kewajiban membayar kaffarah ada dua pendapat”. Selesai.
Menurut hemat penulis, bahwa pendapat yang rajih(kuat) ialah pendapat yang mewajibkan bayar kaffarah, karena ada hadits Ibnu Abbas Dari Nabi saw. tentang seorang suami yang mencampuri isterinya di waktu haidh, Rasulullah saw. bersabda, “Hendaklah ia bershadaqah satu dinar atau separuh." (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 523, ‘Aunul Ma’bud 1: 445 no:261, Nasai’i I: 153, Ibnu Majah 1:2 10 no: 640).
Takhyir menentukan pilihan yang tertuang dalam hadits di atas dikembalikan kepada perbedaan antara jima’ di awal haidh atau akhir waktu haidh. Hal ini mengacu kepada riwayat dari Ibnu Abbas r.a. secara mauquf ia berkata, “Jika ia bercampur dengan isterinya di awal keluarnya darah maka hendaklah bershadaqah satu dinar, dan jika di akhir keluarnya darah, maka setengah dinar.” (Shahih mauquf: Shahih. Abu Daud no: 238 dan ‘Aunul Ma’bud I: 249 no: 262).
3. Istihadhah
Istihadhah ialah darah yang keluar di luar waktu-waktu haidh dan nifas atau keluar secara bersambung setelah haidh atau nifas. Jika ia keluar seperti yang pertama (di luar waktu) maka hal itu sudah jelas. Namun, jika seperti yang kedua, yaitu keluar secara bersambung sesudah sempurnanya waktu haidh atau nifas, maka sebagai berikut:
Jika seorang perempuan biasa mengeluarkan darah haidh atau nifas dengan teratur, maka darah yang keluar melebihi dan kebiasaannya adalah darah istihadhah. Berdasar sabda Nabi kepada Ummu Habibah, “Berhentilah kamu (selama haidh itu masih menahanmu), kemudian mandilah dan shalatlah!” (Shahih: Irwa’uI Ohalil no: 202 dan Muslim I: 264 no:65/334).
Manakala ia bisa membedakan antara dua darah, darah haidh adalah darah hitam yang sudah dimaklumi dan selain dan itu adalah darah istihadhah. Berdasar sabda Nabi saw. kepada Fathimah binti Abi Hubaisy r.a., “Apabila darah haidh, maka ia berwarna hitam yang sudah dikenal (oleh kaum wanita), maka hendaklah kamu berhenti dan shalat; namun jika berwarna lain, maka hendaklah kamu berwudhu’, karena ia adalah darah yang berasal dari pembuluh darah.” (Shahih: Irwa’ul Ghalil no: 204, Nasa’i I: 18 dan ‘Aunul Ma’bud I: 470 no: 283).
Jika ia mengeluarkan darah istihadhah, namun ia tidak bisa membedakan antara darah haidh dengan darah istihadhah, maka hendaklah ia mengacu kepada kebiasaan kaum perempuan di negerinya. Ini didasarkan pada sabda Nabi saw. kepada Hamnah binti Jahsy, "Sesungguhnya itu hanyalah salah satu dari dorongan syaitan. Maka, hendaklah kamu menjalani masa haidh enam hari atau tujuh hari menurut ilmu Allah, kemudian mandilah hingga apabila engkau melihat bahwa engkau sudah suci dan bersih maka shalatlah selama dua puluh empat malam atau dua puluh tiga hari dan berpuasalah, karena sesungguhnya itu cukup bagimu. Dan begitulah hendaknya kamu berbuat pada setiap bulan, sebagaimana kaum wanita berhaidh dan sebagaimana mereka, bersuci sesuai dengan ketentuan waktu haidh dan waktu sucinya.” (Hasan :Irwa-ul Ghalil no: 205, ‘Aunul Ma’bud I: 475 no: 284, Tirmidzi I: 83 no: 128. dan Ibnu Majah 1: 205 no: 627 semakna) Halaman 127
4. Hukum Mustahadhah
Tidaklah aku haramkan atas wanita mustahadhah (yang tengah mengeluarkan darah istihadhah), sesuatu yang diharamkan kepada perempuan yang mengeluarkan darah haidh, hanya saja ia harus berwudhu’ untuk setiap kali akan shalat. Hal ini mengacu kepada sabda Nabi yang ditujukan kepada Fathimah binti Abi Hubaisy r.a., “Kemudian berwudhu’lah untuk setiap kali (akan) shalat!” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:507, Aunul Ma’bud 1: 490 no: 195 dan Ibnu Majah I: 204 no: 42). Dan disunnahkan baginya mandi setiap kali akan shalat sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan mandi-mandi yang sunnah.
Sumber: Diadaptasi dari Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 106 - 112.

Selengkapnya...